Demokrasi Menghargai Kritik?
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Pada tanggal 13 Agustus 2020, Fahri Hamzah dan Fadli Zon menerima penghargaan dan tanda jasa dari Presiden Jokowi. Bintang Mahaputra Nararya sebagai penghargaan dan tanda jasa sipil atas jasa keduanya pada negara. Padahal Fahri Hamzah dan Fadli Zon dikenal vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Akankah ini menjadi pertanda angin segar bagi demokratisasi di negeri ini? Ataukah bintang dan tanda jasa tersebut sebagai upaya meredam suara - suara kritis?
Fahri Hamzah sendiri baru - baru ini mengkritik dengan tajam tentang vaksin Covid-19. Ia menegaskan bahwa sudah saatnya Indonesia mandiri di bidang kesehatan. Indonesia harus bisa membuat vaksin dan APD sendiri. Pandemi sudah berjalan sekitar 6 bulan, mestinya Indonesia tidak menunggu negara lain, imbuhnya.
Fadli Zon pun tidak kalah sengitnya. Saat masyarakat dihebohkan dengan tagihan listrik yang membengkak di masa pandemi, Fadli melontarkan kritikan pedas. Seharusnya PLN bisa transparan, tegasnya. Lebih lanjut ia menuding, walau dengan narasi pertanyaan bahwa ada upaya privatisasi di dalam tubuh PLN.
Termasuk pula terkait dengan kenaikan iuran BPJS. Fadli Zon menyatakan bahwa tidak layak direksi BPJS gajinya besar layaknya CEO sebuah bank. BPJS itu bukan BUMN dan atau unit usaha lainnya, tegasnya. Apalagi menurut Fadli Zon, BPJS selalu mengalami defisit pengelolaan keuangannya.
Demikian sekelumit kritikan keras dari duo F (Fahri Hamzah dan Fadli Zon). Tentunya bagi lingkaran kekuasaan, kritikan demikian secara politis kurang menguntungkan. Artinya membuka borok - borok kekuasaan. Dan lambat laut bisa mengurangi kepercayaan rakyat. Efek ikutan berikutnya, pemerintah menjadi susah dalam mengendalikan rakyatnya. Contoh nyata adalah di masa new normal ini. Sempat Jokowi menanyakan sebab apa angka kasus Covid-19 terus mengalami peningkatan di era new normal. Jokowi mengeluhkan rakyat yang susah sekali untuk mematuhi protokol kesehatan. Jadi sangat wajar bila kubu istana merasa keberatan bila duo F ini mendapatkan Bintang dan tanda jasa dari pemerintah.
Hanya saja ada beberapa hal yang patut dicermati dalam pemberian bintang dan tanda jasa ini. Terdapat hal yang saling bertolak belakang. PA 212 sendiri meminta agar Fahri Hamzah dan Fadli Zon menolak pemberian Bintang dan tanda jasa tersebut. Sedangkan Anis Matta selaku Ketua Partai Gelora menyatakan bahwa Bintang dan tanda jasa itu bukan dalam rangka membungkam suara kritis duo F. Dalam demokrasi, pemerintahan bisa berjalan baik dengan adanya check dan balance. Jadi menurutnya, bintang jasa tersebut sebagai bentuk penghargaan presiden atas pengabdian Fahri dan Fadli. Dari pihak Fahri dan Fadli Zon sendiri merasa biasa saja saat mengetahui kalau mereka akan mendapatkan bintang dan tanda jasa tersebut. Hal ini disampaikannya dalam d'rooftalk detik.com. Masing - masing dari keduanya menilai satu sama lain memang layak mendapatkan Bintang Mahaputera Nararya. Fadli Zon sendiri berkelakar bahwa untuk bisa mendapatkan Bintang dan tanda jasa tersebut harus banyak mengkritik pemerintah. Terkesan membela diri, Fadli Zon mengatakan jika kritikannya selama ini masih sopan, berbeda dengan negara demokrasi yang lain.
Bahkan yang lebih aneh lagi adalah penjelasan Mahfudz MD. Ia memaparkan bahwa jika pemerintah tidak memberikan penghargaan tersebut kepada orang yang kritis, sama saja pemerintah telah mempolitisasi hak seseorang. Pertanyaannya kritis yang bagaimanakah yang berhak mendapatkan Bintang dan tanda jasa? Dalam Pasal 25 UU No 20 Tahun 2007 menyatakan bahwa syarat umum bagi penerima penghargaan dari pemerintah salah satunya adalah tidak mengkhianati bangsa dan negara. Ini menjadi syarat umum yang ambigu. Tentu saja pemerintah yang memegang lisensi memaknai frase tersebut.
Mari kita telusuri lebih jauh. Secara obyektif bila hanya mendasarkan pada jasa, pengorbanan dan sumbangsih kritik bagi kemajuan bangsa, harusnya semua pihak yang melakukan hal positif bagi bangsa dan negara berhak mendapatkan bintang dan tanda jasa dari pemerintah.
Aktifitas mengoreksi pemerintahan dengan menawarkan solusi Islam adalah sebuah kebaikan. Krisis multidimensi yang mendera negeri ini sejatinya merupakan persoalan sistemik. Ambil contoh masalah kenakalan remaja. Orang tua, masyarakat, sekolah, dan negara ikut berperan menjaga generasi. Asas sekulerisme yang mendasari kehidupan telah menjadikan nilai materialistik sebagai ukuran kebahagiaan. Halal dan haram tidak lagi menjadi ukuran perbuatan. Meraih ridho Alloh SWT tidak lagi menjadi ukuran kebahagiaan. Akibatnya kerusakan demi kerusakan selalu mendera negeri ini.
Yang terjadi justru upaya kriminalisasi terhadap para aktifis Islam. Bahkan ajaran Islam Khilafah pun tidak luput dari upaya monsterisasi. Islam yang berasal dari Tuhan semesta alam, mustahil menyebabkan kehancuran bagi negeri ini.
Sebagai sebuah gambaran sederhana. Seorang sopir yang mengendarai mobil tua. Di tengah jalan sering mogok. Penumpang terpaksa berkali - kali harus turun mendorong mobil itu. Berkali - kali pula membawa mobil ke bengkel. Agar penumpang tetap semangat, sang sopir mengajak mereka ke warung. Hal demikian terus berulang dan berulang. Seharusnya bila ada penumpang yang sangat kritis dan memberikan masukan agar mobilnya yang diperbarui niscaya akan bisa menyelamatkan semuanya. Tentunya sang sopir yang berkompeten akan mengarahkan kendaraannya menuju kesejahteraan.
Terakhir mari kita renungkan firman Alloh SWT yang artinya: "Ikutilah oleh kalian orang - orang yang tidak mengharapkan imbalan (dalam menyampaikan ajaran Tuhannya) dan mereka adalah orang - orang yang mendapatkan petunjuk" (TQS Yasin ayat 21).
#15 Agustus 2020
Posting Komentar untuk "Demokrasi Menghargai Kritik?"