Khilafah di Nusantara: Merajut Ukhuwah, Melawan Penjajah

 

Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat)

Pentas sejarah di Indonesia adalah panggung kaum muslim. Tak sepenggal pun lintasan sejarah di luar garis Islam, semua terkait dengan ummat Islam. Ukhuwah Islamiyah yang kuat merekatkan perjuangan ummat. Ukhuwah Islamiyah tak sebatas mempertontonkan besarnya jumlah kaum muslim di Indonesia, namun juga menajdi aktor utama dalam pentas sejarah untuk menyelamatkan negeri ini dari cengkraman kafir penjajah.

Saat Portugis menguasai malaka, Islam telah berkembang pesat di hampir selurih daerah penting di Nusantara, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dansebagainya.

Sebagaimana Buya Hamka menukil prediksinya bahwa Islam telah masuk ke Nusantara sejak masa Khulafaur Rosyidin, khususnya pada masa Abu Bakr ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khoththob ra. Hal itu didasarkan pada almanak Tiongkok yang menyebutkan bahwa pada tahun 674 M terdapat satu kelompok masyarakat Arab (Islam) di Sumatera Barat, yaitu 42 tahun setelah Rosulullah SAW wafat. Berdasarkan hal ini, Islam masuk ke Nesantara pada abad ke-7 bukan ke-13. Akan tetapi, Islam baru mulai menyebar dengan pesat pada ke-13 ke seluruh kawasan Nusantara (Buku Riwayat Hidup Ayahku De. Abdul Karim Abdullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, 1982).

Persatuan ummat Islam dalam ikatan ukhuwah Islamiyah yang berlandaskan keimanan memicu kekuatan pemikiran, perasaan dan aturan yang baku, yakni Islam. Eratnya ukhuwah ini mampu menggentarkan penjajah.

Kaum muslim bersatu padu melawan dan mengusir penjajah yang berupaya memadamkan cahaya Islam. Ukhuwah Islamiyah semakin bersinar sejak Portugis datang menduduki dan menguasai Malaka pada tahun 1511 M. Perlawanan dari kaum muslim berasal dari strategi terstruktur yang berbasis di Demak. Pada tahun 1546 mereka berusaha mengahalau penjajah dan merebut kembali Malaka dengan semangat jihad fii sabilillah.

Seiring dengan perlawanan terhadap penjajah yang terus berlangsung, sebagian kaum muslim meningkatkan kualitas diri dari sisi ilmu. Banyak penduduk Nusantara yang berangkat haji sekaligus berguru di Haromain (Makkah dan Madinah). Maka pada abad ke-17 mulai ditemukan nama-nama murid Jawi yang menjadi ulama besar setelah menetap di Makkah pascaibadah haji. Mereka di antaranya Syekh Rauf Singkel, Nuruddin ar-Raniri,  Syekh Yusuf al-Makasari. Kemudian pada abad ke-18, ulama besar semakin bertebaran seperti Abdus Samad al-Palembangi, Muhammad Arsyad al-Banjari, Daud bin Abdullah al-Pattani,  dan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.

Ulama-ulama nusantara kian berpijar seiring berpijarnya kekhilafahan Islam. Pada abad ke-19 ulama yang terkenal antara lain: Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Mahfud at-Timasi, dan sejumlah ulama lainnya sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra (Al Waie, Agustus 2007).

Hadirnya ulama di Nusantara semakin memperkokoh ukhuwah Islamiyah dan semagat juang melawan penjajah. Banyak para cendekia atau kaum terpelajar mengkoordinir perlawanan dengan organisasi.

Pada abad ke-20, perlawanan kepada penjajah Belanda sudah melalui wadah organisasi demi mempererat persatuan ummat Islam. Pada tahun 1905, Haji Samanhoedi (1868-1956) mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta. Animo respon positif diterima SDI dari mayoritas kaum muslim di Nusantara. SDI menjadi simbol ukhuwah Islamiyah melawan hegemoni penjajah.

Demikianlah jejak khilafah di Nusantara yang merajut ukhuwah untuk melawan penjajah.

Saat ini, sejatinya kemerdekaan belum diraih. Bangsa yang berdaulat belum dimiliki. Intervensi kebijakan oleh korporasi sangat kuat. Kesejahteraan rakyat tidak terealisasi karena sejatinya negeri ini masih bersekutu dengan sistem kapitalisme. Bahkan, sistem kapitalisme diemban sebagai pandangan hidup. Walhasil, negeri ini masih terombang-ambing dalam dahsyatnya Utang Luar Negeri (ULN) yang membawa petaka, dimana SDA menjadi korban ekploitasi donatur ULN.

Jika negeri bertekad kembali ke khiththoh perjuangan para pahlawan, yakni dengan spirit ukhuwah Islamiyah dalam bingkai khilafah, maka kemuliaan dan keberkahan akan Allah limpahkan di negeri ini. Penjajahan fisik ataupun pemikiran akan bisa dihalau dan dilenyapkan dari negeri yang gemah ripah loh jinawi.

Saatnya negeri ini kembali pada aturan yang dijadikan landasan oleh para pahlawan Islam. Dimana ukhuwah Islamiyah dijadikan perekat dalam melawan penjajah, yakni kembali pada  aturan Islam, aturan yang berasal dari Allah Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan.


Wallahu a'lam bish showab

Posting Komentar untuk "Khilafah di Nusantara: Merajut Ukhuwah, Melawan Penjajah"