Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mempertanyakan Peran dan Fungsi Polri Sebagai Pelindung, Pelayan dan Pengayom Masyarakat


_[Catatan Hukum Tindakan Persekusi Terhadap Warga Negara Sipil Oleh Oknum Ormas Di Rembang, Pasuruan, Jawa Timur]_


Oleh : Ahmad Khozinudin, SH (Advokat Pejuang Khilafah)

Pada Kamis (21/8) Puluhan pengurus dan anggota Gerakan Pemuda (GP) Ansor Bangil mendatangi rumah salah seorang warga, yang disebut pengikut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan. Kedatangan mereka meminta pertanggungjawaban atas dugaan penghinaan terhadap ormas dan ulama NU di media sosial.

Mereka mendatangi rumah AH, Kamis (20/8) siang. Begitu tiba di rumah AH, Ketua GP Ansor Bangil Saad Muafi langsung bertindak layaknya aparat penegak hukum, melakukan interogasi bahkan dengan nada intimidasi. Melakukan sejumlah 'teror' dengan membawa anggotanya berseragam lengkap loreng, mendatangi (baca : ngeluruk), rumah warga negara tanpa mengindahkan aturan dan tata krama.

Dalam dialog yang videonya beredar viral di sosial media, nampak Saad Muafi layaknya penyidik melakukan interogasi, menunjukan sejumlah bukti kepada AH berupa bendera Al Liwa dan Ar Roya (bendera tauhid), dan sejumlah buku dan majalah, bahkan memaksa untuk membuat pernyataan.

Muafi mempersoalkan tiga hal :

Pertama, mempersoalkan Khilafah yang dipahaminya sebagai ajaran terlarang yang masih didakwahkan ditengah masyarakat.

Kedua, mempersoalkan bendera al Liwa dan Ar Roya, bendera tauhid yang diklaim sebagai bendera HTI.

Ketiga, mempersoalkan eksistensi aktivis HTI yang menurutnya telah ditetapkan sebagai ormas terlarang oleh pemerintah.

Selain tiga hal ini, Muafi juga menuding HTI sama dengan PKI yang telah dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Terlihat, muafi begitu memaksa untuk menggunakan tafsir 'PKIsasi' terhadap HTI.

Uniknya, dalam interograsi dan tindakan yang terkategori 'persekusi ini', ada aparat kepolisian didalam video yang beredar nampak hanya diam, dan seolah berada dibawah kendali Muafi. Bahkan, Muafi dalam video yang beredar juga menyerahkan sejumlah barang yang dianggapnya sebagai 'Bukti Kejahatan' kepada aparat penegak hukum (Polisi) yang hadir.

Dalam Video terpisah, Kiyai Zainulloh Muslim yang melakukan dialog dengan  Muafi berulangkali mempersilahkan Muafi yang juga anggota DPR agar menempuh proses hukum. Soal tuduhan HTI Ormas terlarang, Khilafah Ideologi terlarang, dan hingga dugaan pencemaran tokoh Ansor NU yakni Habib Luthfi Bin Yahya agar juga diproses secara hukum, sebab negara ini adalah negara hukum.

Didalam video, nampak terlihat jelas bagaimana Muafi tak memiliki argumentasi hukum selain hanya mengajukan klaim sumir. Menyebut Khilafah dilarang berdalih Perppu Ormas (Perppu No 2 Tahun 2017), HTI Ormas terlarang, hingga tudingan terhadap bendera Islam yakni bendera Al Liwa dan Ar Roya sebagai bendera HTI, justru menunjukkan kebodohan dan kedangkalan pengetahuan hukum Ketua GP Ansor Bangil ini.

Akhirnya, setelah merasa kalah argumen barulah Muafi menyebut akan membawa persoalan tersebut ke penegak hukum. Padahal, Muafi dan anggotanya telah melakukan tindakan yang mengambil alih peran dan fungsi penegak hukum, yang hal itu dilarang oleh UU Ormas (UU Nomor 17 Tahun 2013).

Mengenai tindakan mengambil alih peran penegak hukum ini, Guru Besar Hukum Fakultas Hukum Undip Prof Suteki secara khusus telah membuat artikel hukum tentang sejumlah pasal yang diduga dilanggar oleh Muafi. Bahkan, berikut sanksi hukum dan ancaman pidananya.

Kedudukan HTI bukan Ormas Terlarang

Sebenarnya, penulis telah beberapa kali membuat artikel yang menjelaskan kedudukan hukum HTI pasca dicabut BHP nya oleh pemerintah. HTI bukan ormas Terlarang, tidak bisa dibubarkan melainkan atas kehendak anggota, dan tetap sah, legal Konstitusional untuk berdakwah dan terlibat dalam memperbaiki kondisi bangsa dengan legalitas sebagai Ormas Tak Berbadan Hukum.

Ormas Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak dibubarkan dan bukanlah Ormas Terlarang. kesimpulan ini akan didapatkan bagi siapapun yang membaca dan menelaah amar putusan PTUN Jakarta yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung.

Dalam amar putusan, nampak jelas bahwa isinya hanya menolak gugatan HTI. Dengan demikian putusan hanya menguatkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

Tak ada satupun amar putusan pengadilan, baik ditingkat PTUN Jakarta hingga Mahkamah Agung yang menyebut membubarkan atau menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang. Tak ada pula, konsideran dalam Beshicking berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 yang menyebut membubarkan atau menyatakan HTI sebagai Ormas terlarang.

HTI hanya dicabut badan hukumnya, sehingga tak lagi memiliki hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab sebagai Ormas yang berbadan hukum.

Namun sebagai Ormas tak berbadan hukum, HTI tetap sah dan legal sebagai Organisasi Masyarakat, mengingat berdasarkan ketentuan pasal 10 UU Nomor 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa  Ormas dapat memilih opsi berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Dengan demikian putusan PTUN Jakarta dan MA hanya mencabut BHP HTI. Namun, putusan PTUN Jakarta dan MA tak dapat merampas hak konstitusional warga negara untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Status HTI adalah Ormas yang tidak berbadan hukum. HTI hanya bisa bubar, jika anggotanya menyepakati pembubaran diri sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam AD dan ART HTI.

HTI saat ini statusnya mirip dengan FPI. Bedanya, HTI tak memiliki BHP (Badan Hukum Perkumpulan) Karena telah dicabut Kemenkumham. Sementara FPI, tak lagi memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar), karena tidak diperpanjang Kemendagri.

Hanya saja sebagai Ormas tak berbadan hukum, baik HTI maupun FPI tetap sah, legal dan konstusional untuk terus melakukan aktivitas dakwah amar Ma'ruf nahi Munkar, dalam satu entitas jama'ah (organisasi), sebagaimana Konstitusi telah menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

Adapun Organisasi yang secara hukum tegas dibubarkan, dinyatakan sebagai Organisasi terlarang, paham dan ideologinya yakni Marxisme, komunisme, leninisme juga dilarang, adalah Organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI), berdasarkan TAP MPRS Nomor :  XXV tahun 1966.

Kedudukan Hukum Bendera Tauhid dan Khilafah

Kasus pembakaran Bendera Tauhid di Garut beberapa tahun yang lalu, sebenarnya sudah cukup menjadi bukti bahwa bendera tauhid bukanlah bendera HTI. Tak ada satupun bukti hukum yang bisa menjadi dasar untuk menisbatkan bendera tauhid sebagai benderanya HTI.

Terkait hal ini, terdapat hadits Nabi SAW yang menjadi sandaran legitimasi syar'i bendera tauhid, bendera Al Liwa dan Ar Roya adalah bendera kaum muslimin :

كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوبٌ عَلَيْه ِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

“Panjinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna hitam, dan benderanya (Liwa) berwarna putih, tertulis di dalamnya: “Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah”.” (HR. Ath-Thabrani).

Khilafah juga ajaran Islam, idenya Allah SWT. Khilafah bukan ajaran terlarang. Mengenai hal ini, telah banyak kitab-kitab ulama mutabar yang membahasnya. Semua Imam Mahzab (Maliki, Syafi'i, Hanafi dan Hambali) telah Ijma' (sepakat) tentang wajibnya khilafah.

Tidak ada satupun pasal atau aturan menurut hierarki perundangan, baik UUD 1945, TAP MPR, UU atau Perrpu, PP, Pepres, Perda Provinsi hingga Perda Kota atau Kabupaten, yang melarang ajaran Islam khilafah. Negara menganut asas legalitas hukum, sepanjang hukum tidak mengatur atau tidak melarangnya, maka khilafah tetap menjadi ajaran yang sah, legal dan konstitusional untuk didakwahkan.

Satu-satunya dasar hukum yang memuat larangan organisasi atau partai, juga melarang ideologi atau paham yang diembannya adalah TAP MPRS No. XXV/1966. TAP MPRS ini tidak melarang HTI, juga tidak melarang bendera tauhid atau Khilafah. TAP MPRS ini membubarkan PKI, melarang kegiatan dan simbol PKI, dan menyatakan ideologi atau paham PKI berupa Marxisme, Leninisme, Komunisme dan Atheisme, sebagai paham atau ajaran yang terlarang.

Terlebih lagi, konstitusi telah menjamin setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinannya. Dalam keyakinan agama Islam, mendakwahkan ajaran Islam khilafah termasuk aktivitas ibadah yang berpahala.

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) menegaskan :

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,....."

Mempertanyakan Peran dan Fungsi Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum

Yang menjadi problem, kenapa aparat penegak hukum membiarkan aksi main hakim sendiri (eiqenrichting) yang dilakukan ketua Ansor Bangil dan anggotanya ? Kenapa polisi hanya diam membisu melihat Ansor Bangil membuat keonaran, ngeluruk rumah warga negara yang keamanan dan ketenteramannya dijamin Konstitusi dan UU ?

Kenapa polisi diam peran dan fungsinya diambil alih anggota Ansor ? Apakah negara telah kalah oleh Ormas ? Apakah polisi justru berada dibalik tindakan Persekusi ?

Tidak salah jika ada Praduga, Kepolisian justru ada dibalik aksi 'preman' berseragam Ansor di Bangil. Sebab, diamnya polisi menandakan persetujuan polisi terhadap tindakan preman Ansor Bangil.

Anehnya, polisi justru menerima laporan dari Ansor Bangil. Meskipun dapat dipastikan, laporan itu hanya terkait kasus dugaan pencemaran melalui sarana ITE.

Adapun terkait Khilafah ajaran Islam yang dituding terlarang, HTI Ormas terlarang, dan ilegalitas bendera Al Liwa dan Ar Roya, dipastikan polisi tak akan dapat memprosesnya, KARENA MEMANG BUKAN PIDANA DAN TAK ADA DASAR HUKUM UNTUK MEMPROSES DAKWAH KHILAFAH DAN KEPEMILIKAN BENDERA LIWA DAN ROYA.

Sebagaimana warga negara, penulis dapat merasakan suasana kebatinan rakyat yang diteror, diintimidasi, di luruk dan diperlakukan tanpa adab didepan polisi. Jelas, polisi telah gagal menjadi pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat. Bahkan, secara sadar membiarkan peran dan fungsinya sebagai penegak hukum diambil alih Ansor Bangil.

Agar tidak muncul praduga, bahwa justru polisi-lah yang berada dibalik Persekusi ini, maka ketua dan anggota Ansor Bangil wajib diproses hukum dengan UU Ormas, karena telah mengambil alih peran dan fungsi aparat penegak hukum. Dan tindakan ini bukan delik aduan, sehingga tak membutuhkan laporan dari rakyat.

Polisi dapat memberlakukan ketentuan pasal 53 ayat (3) Jo pasal 60 Jo pasal 82 UU Ormas. [].

Posting Komentar untuk "Mempertanyakan Peran dan Fungsi Polri Sebagai Pelindung, Pelayan dan Pengayom Masyarakat"

close