Bukan Otokrasi Maupun Oligarki Solusi Atasi Pandemi


 


Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Penulis dan Pemerhati kebijakan publik)


"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." (TQS. Al Maidah: 49).

Indonesia kembali memecahkan rekor penambahan kasus Covid-19 harian. Pada Kamis (10/9), kasus baru di Indonesia bertambah 3.861, angka itu paling tinggi selama ini dan setidaknya dalam 2 pekan terakhir. Sehingga, sudah 207.203 orang terinfeksi Covid-19 selama 6 bulan ini (Radar Bogor online, 10/9/20). Pemerintah mengklaim solusi atasi pandemi ini adalah negara yang menganut pemerintahan Otokrasi. 

Seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut negara-negara yang menganut pemerintahan otokrasi atau oligarki lebih efektif menangani pandemi virus corona (Covid-19). Tito menyebut negara dengan pemerintahan seperti itu mudah mengendalikan perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi karena kedaulatan negara dipegang oleh satu atau segelintir orang.

"Negara-negara yang menggunakan sistem politik otokrasi tangan satu orang atau oligarki yang dikuasai sekelompok orang, seperti China dan Vietnam, menangani dengan lebih efektif karena mereka menggunakan cara-cara yang keras," kata Tito disiarkan langsung akun Youtube Kemendagri RI (3/9/20).

Sementara, kata Tito, negara penganut demokrasi, seperti Indonesia, India, dan Amerika Serikat cenderung mengalami kesulitan karena pemerintah tidak bisa memaksakan rakyatnya. Mantan Kapolri itu mencontohkan sulitnya menerapkan protokol kesehatan di Indonesia. Padahal, tindakan yang dilakukan sederhana, seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker saat beraktivitas di luar rumah.

Faktanya, apakah benar kendala atasi pandemi di negeri ini karena ketidakdisiplinan rakyat, sulitnya diatur dan sistem demokrasi yang digunakan sehingga korban semakin meningkat? Tak seperti China dan Vietnam yang lebih cepat penanganan covid-19 nya karena bukan menggunakan demokrasi. Ataukah ada alasan lain mengapa kasus covid-19 tak kunjung reda alias meroket khususnya di negeri ini sehingga dilockdown oleh negara-negara lain.

Sudah 6 bukan pandemi di negeri ini sejak kasus pertama diumumkan yaitu pada awal Maret 2020. Kian hari kasus bukan semakin berkurang sebaliknya semakin bertambah. Apa sebenarnya yang salah di negeri ini dalam mengatasi pandemi? PSBB sudah pernah dilakukan di beberapa kota, pasca new normal kondisi kesehatan di negeri semakin memburuk. Muncul klaster-klaster baru dan kasus per (10/9) adalah rekor baru setelah rekor 3 September 2020 kemarin.

Saat ini, ibu kota memberlakukan kembali PSBB begitupun di kota-kota lain. Bahkan kota yang belum pernah memberlakukan kebijakan PSBB pun saat ini melakukannya karena korban di daerah tersebut ternyata semakin bertambah. Korban dokter di negeri ini pun mendapat rekor di Asia Tenggara, yaitu tembus 100 pahlawan di garda terdepan. Namun, tanda-tanda pandemi berakhir belum terlihat padahal para dokter sudah melakukam segenap usahanya rela berkorban dan berjuang agar pandemi ini bisa segera berakhir.

Lalu, benarkah solusi atasi pandemi adalah negara yang sistem pemerintahanya menerapkan otokrasi dan oligarki? Negeri ini menganut sistem demokrasi yaitu  bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum (Wikipedia).

Namun faktanya, keputusan atau kebijakan apapun di negeri ini tak pernah melibatkan semua warga negaranya kecuali hanya pada saat pemilu an sich. Pengambil kebijakan di negeri ini justru oleh segelintir orang baik dari kalangan elit politik atau ekonomi yaitu para pengusaha yang menanam modal atau saham di negeri ini. Tapi berkedok atas nama demokrasi seolah-oleh negara ini demokratis bisa mengakomodir semua keinginan rakyat, nyatanya tidak.

Adapun otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratôr yang secara harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal". Autokrasi biasanya dibandingkan dengan oligarki dan demokrasi (Wiikipedia). Sementara oligarki (Bahasa Yunani: Ὀλιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

China saat ini melaporkan tujuh kasus baru Covid-19 pada 9 September, naik dari dua kasus sehari sebelumnya. Menurut Komisi Kesehatan Nasional mengatakan bahwa semua kasus baru adalah infeksi impor yang melibatkan pelancong dari luar negeri, menandai hari ke-25 berturut-turut tidak ada penularan lokal (kontan.co.id, 10/9/20). Artinya, di China sendiri kasus Covid-19 masih ada walau lebih sedikit dibanding kasus awalnya. Namun, hal ini menunjukkan bahwa China sama sekali belum terbebas dari virus dengan sistem otokrasinya. 

Hingga saat ini sudah 47 negara sah mengalami resesi. Demi meredam penyebaran virus corona, pemerintah mengorbankan sektor ekonomi, kebijakan pembatasan sosial (social distancing) hingga karantina wilayah (lockdown) diterapkan, akibatnya roda perekonomian melambat signifikan bahkan nyaris mati suri. Resesi pun tak terhindarkan (CNBC Indonesia, 9/9/20).

Lalu, bagaimana Islam mengatasi wabah bahkan tak pernah dikenal dalam sejarah terjadi krisis menuju resesi akibat wabah? Jauh sebelum itu Rasul Saw. sudah mencontohkan karantina, lockdown atau apapun bahasanya ketika di suatu wilayah ada wabah. Bagi yang di luar daerah wabah dilarang masuk ke area wabah.  Hal ini dilakukan sebagai upaya preventif agar wabah tidak semakin menyebar. Daerah yang dikarantina segera ditangani dengan biaya pengobatan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh negara.

Dananya dari mana? Islam memiliki kas disimpan di Baitul mal, sumber pemasukannya dari berbagai pos di antaranya kepemilikan umum dan negara, fa'i, kharaj dan zakat. Zakat sudah ada pos pengeluaran sendiri, maka selain itu menggunakan pos yang lain. Di daerah lain yang tidak terkena wabah, tetap melakukan aktifitas seperti biasa termasuk ekonomi ril. Maka ekonomi dalam sistem Islam (khilafah) tidak pernah mati, krisis apalagi resesi. 

Rakyat patuh terhadap kebijakan pemimpinnya yaitu khalifah semata-mata dorongan akidah. Jadi solusi atasi pandemi hanyalah dengan menggunakan aturan dari Sang Pemberi wabah itu sendiri yaitu Islam  dengan sistem khilafahnya bukan yang lain. Firman-Nya: "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?". (TQS. Al Maidah: 50).

Allahu A'lam Bi Ash Shawab.

Posting Komentar untuk "Bukan Otokrasi Maupun Oligarki Solusi Atasi Pandemi"