Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Omnibus Law, Demi Siapa?



Oleh: Afiyah Rasyad (Pemerhati Sosial dan Politik Probolinggo)

Pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu mempopulerkan istilah omnibus law di Indonesia pertama kali. Omnibus law erat kaitannya dengan bidang kerja pemerintah pada sektor ekonomi. Khususnya  sektor ketenagakerjaan yakni UU Cipta Lapangan kerja. Omnibus law sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat karena bersifat lintas sektor. Sehingga DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus. Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. 

DPR dan pemerintah tengah bermain api dalam memuluskan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. Strategi di pekat malam dilakukan demi pengesahan RUU Cilaka menjadi UU akhirnya terwujud. 

DPR diam-diam mempercepat jadwal pengesahan dari jadwal semula yang direncanakan 8 Oktober menjadi 5 Oktober lalu karena alasan laju kasus positif covid-19 terus melonjak naik. Kebijakan ini pun sontak menuai protes di kalangan masyarakat khususnya kalangan buruh dan pekerja karena diklaim hanya  menimbulkan kerugian serta dapat membuka keran bagi investor serta masuknya para TKA. Demi buruh terjadi terus menerus tiada henti sejak disahkan dalam senyap.

DPR resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU pada rapat paripurna yang digelar hari ini di gedung DPR Jakarta Pusat, Senin (5/10/2020). Tercatat, hanya fraksi PKS dan Partai Demokrat yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja sebagaimana dilansir dari Kompas.com (05/10).

Kebijakan-kebijakan terkait Omnibus Law Cipta Kerja menjadi sorotan. Pasalnya kebijakan tersebut menambah daftar penderitaan buruh. Berikut kebijakan yang menyengsarakan:

1. Upah minimum dihapus

Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah. Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum. Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH. 

2. Jam lembur lebih lama 

Dalam draf omnibus law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam sepekan. Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam satu hari maksimal tiga jam dan 14 jam dalam sepekan. 

3. Aqod kontrak seumur hidup dan rentan PHK 

Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin Pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, Pasal 61A menambahkan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir. Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Sebab, jangka waktu kontrak akan berada di tangan pengusaha yang berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi selamanya. Hal ini bisa memicu pengusaha bisa mem-PHK  pekerja sewaktu-waktu.

4. Pemotongan waktu istirahat 

Pada Pasal 79 ayat 2 poin b dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu, dalam ayat 5, RUU ini juga menghapus cuti panjang dua bulan per enam tahun. Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Tentu saja hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.

5. Mempermudah perekrutan TKA

Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi tenaga kerja asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling menuai pertentangan serikat pekerja. Pasal tersebut akan mengamandemen Pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA mendapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. Jika mengacu pada Perpres Nomor 20 Tahun 2018, TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja. 

Sementara itu Drektur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati mengakui tingkat kepercayaan rakyat terhadap DPR dan pemerintah semakin menurun menyusul pengesahan RUU Cipta Kerja. Nur menyebut pengesahan RUU yang dilakukan DPR kemarin menjadi puncak pengkhianatan negara terhadap kehendak rakyat.

"Pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang," kata Nur kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).

Sebagian dari draf UU yang disahkan tersebut nampak sekali keberpihakan pembuat kebijakan bukan untuk rakyat. Justru kerugian besar siap menerkam para pekerja. Meski pemerintah berdalih pengesahan UU itu berampak positif, yakni terbukanya lapangan kerja, justru TKA yang siap menempati posisi tersebut.

Inilah wajah asli demokrasi, jargon pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat  hanyalah ilusi. Pengesahan yang terburu-buru dan sepihak tetap dilakukan meski banyak penolakan dan  penentangan.  Dalam kondisi pandemi, di saat rakyat sekarat terpapar virus corona, buruh berkurang gajinya, pemenerintah justru mengesahkan kebijakan yang tak memihak kepentingan rakyat.

Kebijakan ini menunjukkan watak serakah penguasa liberal  yang disetir  kepentingan korporasi. Penguasa berdiri tegak sebagai regulator yang mengatur relasi antara rakyat dan pengusaha menjadi relasi konsumen dan produsen. Selain itu, mereka mendesain agar tidak timbul konflik antara pekerja dan penyedia jasa. 

Kongkalikong  penguasa dan pengusaha menjadi ciri khas sistem kapitalisme. Pengambil kebijakan dan pengesahan hukum dilakukan oleh anggota dewan yang menyaingi Allah sebagai pembuat hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Tak heran jika kondisi rakyat dalam sistem kapitalisme tidak dimuliakan. Rakyat senantiasa dirampok dan didzolimi dengan segudang aturan yang dibuat demi kepentingan korporasi.

Tak ada ceritanya, sistem kapitalisme rela rugi demi rakyat. Dalam sistem setan ini, rakyat tak boleh menjadi beban negara. Bahkan, saat rakyat mencurahkan tenaga, jangan sampai menimbulkan kerugian dengan cost upah yang tinggi.

Berbeda halnya dengan sistem Islam.  Dalam Islam yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT sebagaimana firman-Nya:

"Sesungguhnya tak ada yang berhak membuat hukum kecuali Allah SWT." (TQS. Yusuf: 40)

Sistem Islam memandang kholifah dalam bingkai khilafah adalah pelayannya umat, mengurusi kepentingan dan kemaslahatan umat. Khilafah berperan memberi jaminan dan pelayanan, menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat. 

Dalam sistem ekonomj Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga bagian. Kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. 

Kepemikikan negara adalah harta negara yang diperoleh dari ghonimah (harta rampasan perang), fai', khoroj dan jizyah. Adapun zakat hanya didistribusikan kepada delapan ashnaf saja.

Sementara kepemilikan umum adalah harta milik rakyat, muslim ataupun kafir dzimmi yang berasal dari sumber daya alam (SDA). SDA dikelola oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Rasulullah saw bersabda:

“Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Khilafah dilarang menyerahkan pengelolaan dan penguasaan SDA kepada asing atau investor swasta.

Adapun kepemilikan individu adalah harta milik individu rakyat, tidak dibatasi jumlah harta yang dimiliki, namun dibatasi tata cara kepemilikannya. Tata cara yang diperbolehkan antara lain, bertani, menghidupkan tanah mati, berburu, hadiah, hibah, waris dan bekerja.

Khilafah akan mengatasi pengangguran dengan memberdayakan etos kerja dan iklim usaha yang sehat, membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat. Rakyat yang tidak punya modal akan diberi modal oleh negara agar ia bekerja. Sementara rakyat yang tidak memiliki keterampilan bekerja juga akan diberi pelatihan agar ia memiliki kemampuan dan ketrampilan yang profesional. Laki-laki akan dimotivasi bekerja sebab bermalas-malasan itu dilarang. Setiap kepala keluarga wajib mencari nafkah.

Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:

“Cukuplah seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan kekuatan menafkahi tanggungannya.” (HR Muslim)

Dalam hal ini negara akan membuka lapangan pekerjaan yang menyerap tenaga laki-laki. Bekerja adalah interaksi sewa jasa antara karyawan dan majikan. Karyawan atau buruh akan menerima gaji sebelum kering keringatnya karena Islam mengatur tata cara pembayaran upah. sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda, “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Imam Thabrani)

Besarnya upah tergantung kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau berdasar upah standar profesi tersebut.

Maka jelas saja kesejahteraan rakyat akan terjaga dan terpelihara dalam sistem Islam. Eksploitasi SDM dan SDA tidak akan terjadi dengan aturan yang berasal dari wahyu Ilahi.


Wallahu a’lam

Posting Komentar untuk "Menyoal Omnibus Law, Demi Siapa?"

close