Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

UU Sapu Jagat Menyebabkan Deforestasi


 


Oleh: Anggun Permatasari


Sejak pemerintah memasukkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dalam daftar program legislasi nasional 2020. Berbagai kalangan mulai dari masyarakat sipil, organisasi lingkungan hidup, lembaga hak asasi manusia, gerakan masyarakat adat, mahasiswa dan buruh mengajukan penolakan.

Sayangnya, meski banyak pihak keberatan, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Langkah senyap DPR dan pemerintah tersebut dilakukan pada tanggal 5 Oktober 2020 (Kompas.com, 5 Oktober 2020).

Menurut sejumlah pengamat lingkungan, sejatinya UU Omnimbus Law Cipta Kerja tidak hanya menyengsarakan buruh. Tapi, juga menguntungkan korporasi dan dapat merusak lingkungan. Salah satu dampak buruk dari penyederhanaan hukum melalui UU Omnimbus Law Cipta Kerja adalah kerusakan hutan.

Dilansir dari laman berita Tempo.co, 8/10/2020, diberitakan bahwa maklumat tentang kewajiban untuk mempertahankan 30 persen kawasan hutan yang tercantum dalam Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 dihapus. Padahal dalam pasal tersebut ditentukan kecukupan luas kawasan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau minimal 30 persen. Tentu hal tersebut akan mengakibatkan deforestasi semakin meluas. Apalagi, selama ini Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia. 

Omnimbus Law Memperparah Kerusakan Hutan

Indonesia sebagai negara dengan intensitas hujan tinggi, rentan akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, hingga sedimentasi.  UU Kehutanan memberi maklumat untuk menetapkan luas kawasan hutan di daerah berdasarkan sejumlah pertimbangan. Mulai dari kondisi fisik, iklim, penduduk, dan keadaan warga setempat.

Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutan, sekalipun di daerah yang memang hutannya sudah di atas 30 persen. "Luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada," demikian penegasan di UU Kehutanan (Tempo.co, 8/10/2020).

Nyatanya, dari kebijakan yang dilahirkan rezim, UU Omnimbus Law Cipta Kerja tidak lagi memberikan ruang checks and balances di dalam perubahan peruntukan dan fungsi serta penggunaan kawasan hutan. 

Ditiadakannya ukuran batas minimal luas kawasan 30% tanpa ada justifikasi rasional sebagai standar yang baru, justru menurut akademisi dari Departemen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Totok Dwi Diantoro, hal tersebut merupakan penegasan terhadap eksploitasi sumber daya hutan yang tidak mengindahkan daya dukung lingkungan. Terlebih, ketika dikaitkan dengan alasan untuk proyek strategis nasional (Gatra.com, 15/4/2020).

Dari uraian tersebut tampak keberpihakan pemerintah lebih dominan pada investor dari pada rakyat. Di Papua dan Papua Barat, misalnya. Setidaknya dua kelompok adat masih terus menolak ekspansi perusahaan kelapa sawit ke tanah ulayat mereka. Namun, karena kemampuan membaca yang rendah dan keterbatasan akses informasi, kelompok adat itu tidak mengetahui hiruk-pikuk Omnibus Law dan potensi dampaknya terhadap mereka.

Sopice adalah Camat di Distrik Konda. Dia merupakan perwakilan masyarakat Suku Tehit. Dia mengatakan bahwa sejak 2013 kelompok adat di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat menolak rencana sebuah perusahaan membuka kebun sawit di atas tanah ulayat mereka seluas 37 ribu hektar (BBC.com, 8/10/2020).

Hutan berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Rusaknya hutan dapat memutus rantai kehidupan. Apabila hal itu terjadi, bencana akan datang sewaktu-waktu. Apalagi, kerusakan hutan dengan seluruh komponen biofisiknya secara tidak langsung berkontribusi menyebabkan banjir dan peningkatan pemanasan global.

Laman berita BNPB.go.id, 31/8/2020, mewartakan bahwa dalam kurun Januari hingga Agustus 2020, BNPB mengidentifikasi 1.927 kejadian bencana alam. Dari jumlah tersebut, 99 persen merupakan bencana hidrometerologi, seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, angin puting beliung dan kekeringan. Jumlah kejadian bencana tersebut mengakibatkan 290 orang meninggal dunia dan hilang, 421 mengalami luka-luka dan 3,8 juta mengungsi.

Yang paling menyedihkan, banjir terjadi di kawasan hutan seperti Kalimantan Tengah. Sejumlah daerah terendam seperti Lamandau, Katingan, Seruyan, Kotawaringin Timur, Gunung Mas, Murung Raya, dan Kapuas. Banjir sangat mungkin terjadi disebabkan rusaknya hutan di bagian hulu, sehingga kemampuan hutan untuk menampung dan menyerap air hujan sangat kecil (Mongabay.co.id, 17/9/2020) 

Berdasarkan catatan Organisasi Jaringan Pemantau Hutan Independen, Forest Watch Indonesia (FWI), angka penebangan hutan selama 2013 hingga 2017 mencapai 1,47 juta hektare per tahunnya. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan periode 2009 hingga 2013 yang hanya sebesar 1,1 juta hektare per tahun. Sejak beberapa dekade terakhir hutan alam di Indonesia mengalami deforestasi yang sangat serius dan menurun kondisinya baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya (Tempo.com,13/10/2019).

Dengan lahirnya UU Omnimbus Law Cipta Kerja dikhawatirkan akan menyebabkan deforestasi semakin luas dan terjadi alih fungsi lahan. 

Islam Memelihara Hutan dan Kelestarian Alam

Dari penjabaran di atas, esensi UU Sapu Jagat ini sebenarnya adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan melancarkan masuknya investasi. Mirisnya, pemerintah justru lebih mengutamakan sektor bisnis yang mengabaikan masa depan lingkungan dan sumber daya alam. Pembangunan kini tidak lagi sejalan dengan kelestarian lingkungan.

Maka, dengan lahirnya UU Omnimbus Law Cipta Kerja tentunya menjadi jalan lebih mulus bagi penguasaan sumber daya alam oleh swasta dan asing. Pembangunan kapitalistik yang berasaskan paradigma sistem sekuler liberal adalah gambaran lemahnya hukum di negeri ini dalam menjaga lingkungan.

Lahirnya UU Omnimbus Law juga menunjukkan pemerintah tidak mendengarkan masukan pakar lingkungan dan masyarakat dalam menentukan kebijakan. Pemerintah juga tidak memperhatikan aspek hidrologi, kehutanan, konservasi, prinsip kelestarian hutan dan tata ruang wilayah dalam pembangunan. 

Pastinya problem seperti itu tidak akan terjadi apabila tata kelola hutan diatur oleh hukum Islam. Dalam pandangan Islam, air, hutan, dan lahan adalah ciptaan Allah Swt. Alam diciptakan untuk kesejahteraan manusia, bukan komoditas. Allah Swt. berfirman dalam Al Quran surat Al-Baqarah ayat 29, yang artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk mu…”.

Kekayaan alam yang ada di dalam hutan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menjaga keseimbangan alam, bukan untuk dieksploitasi apalagi memperkaya segelintir orang. Dalam surat Al-Qamar ayat 49, Allah Swt. berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”

Sehingga, alam berada dalam keseimbangan dan keserasian satu sama lain, “…dan Dia menciptakan keseimbangan.” (TQS Ar-Rahman: 7). Dan Islam juga memerintahkan manusia memelihara keseimbangan alam, “Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (TQS Ar Rahman: 8).

Sejalan dengan itu, Khalifah beserta jajarannya sebagai pelaksana syariat Islam yang kaffah secara praktis bersinergi menerapkan aturan Islam. Sehingga, umat terikat dengan aturan hukum yang melindungi alam. 

Hutan merupakan harta milik umum. Sebab, hutan secara umum memiliki fungsi ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan semua manusia. Rasul Saw. bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api” (HR Abu Dawud).

Sehingga apa pun alasannya, negara tidak dibenarkan memberikan hak pemanfaatan istimewa berupa hak konsesi dan lainnya. Baik untuk pembukaan tambang, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur kepada segelintir orang.

Oleh karena itu, deforestasi mustahil berhenti selama aturan yang digunakan adalah sistem sekuler kapitalis liberal yang eksploitatif. Hanya aturan Islam yang mampu melindungi kelestarian hutan untuk kemaslahatan umat. Wallahualam

Posting Komentar untuk "UU Sapu Jagat Menyebabkan Deforestasi"

close