Walau Ancaman Menghadang, Mahasiswa Tetaplah Berjuang


 


Oleh: Ragil Rahayu, SE

Kehadiran mahasiswa dalam aksi penolakan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja mendapat penentangan dari beberapa pihak. Kemendikbud mengeluarkan surat bernomor 1035/E/KM/2020 tertanggal 9 Oktober 2020 yang diteken Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam.

"Mengimbau para mahasiswa/i untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/ penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan para mahasiswa/i di masa pandemi ini," bunyi surat itu.

Kampus kemudian diminta mensosialisasikan UU Cipta kerja dan mendorong mahasiswa melakukan kajian akademis untuk disampaikan kepada pemerintah dan DPR melalui mekanisme lain. Dosen juga diminta mendorong mahasiswa melakukan pendekatan yang intelektual jika ingin mengkritik UU Cipta Kerja.

Lokomotif Perubahan

Kehadiran mahasiswa dalam aksi menolak Omnibus Law memang dipandang berbeda dengan keterlibatan kaum buruh. Kalangan pekerja dianggap wajar menolak Omnibus Law karena mereka berkepentingan secara langsung. Omnibus Law disinyalir akan zalim pada hak-hak kaum buruh.

Tidak demikian dengan mahasiswa. Para intelektual ini tidak terkait secara langsung dengan Omnibus Law karena masih dalam masa kuliah, belum bekerja. Mereka dianggap tak perlu ikut koar-koar mengkritik UU ini.

Energi mahasiswa coba dikanalisasi dengan diarahkan untuk mengajukan kajian akademis pada pemerintah dan DPR. Ini menjadi bukti bahwa suara mahasiswa memang menggentarkan rezim. Apalagi jika yang bersuara adalah mahasiswa seantero Indonesia, panggung kekuasaan bisa digoyang.

Potensi mahasiswa memang luar biasa. Mulai dari potensi fisik, intelektual, politik, hingga ideologis. Fisik mereka masih muda, otak mereka encer, dan visi mereka jauh ke depan. Status lajang menjadikan para mahasiswa ini berada dalam puncak idealismenya.

Semua potensi ini jika digunakan untuk menuntut perubahan akan mampu membahayakan status quo. Itulah sebabnya rezim berupaya melalui berbagai kanal agar bisa membendung potensi mahasiswa, sehingga tidak membahayakan penguasa.

Di era otonomi kampus seperti saat ini, biaya kuliah makin melangit karena kampus dituntut untuk mandiri secara finansial. Akibatnya mahasiswa dikondisikan untuk hanya fokus pada penyelesaian studi dengan IPK gemilang dan tak peduli pada problem rakyat. Mahasiswa tersandera pada menara gading nan tinggi, hingga jauh terpisah dari realitas masyarakat tempat dia hidup.

Hal ini diperparah dengan tuntutan persaingan di dunia kerja yang makin sengit. Mahasiswa dikondisikan sibuk memikirkan nasibnya sendiri pasca kuliah, hingga tak sempat memikirkan penderitaan umat.

Dengan tekanan yang demikian besar dialami mahasiswa, maka kehadiran mereka di aksi penolakan Omnibus Law merupakan hal yang luar biasa. Mahasiswa yang selama ini dicitrakan “tidur” ternyata bangkit, bergerak dan melawan kezaliman.

Bravo mahasiswa! Kalian hebat. Kalian adalah lokomotif perubahan, rakyat ada di belakang punggungmu, siap memberikan dukungan terbaik.

Namun, mahasiswa tak boleh lengah. Semangat dalam mengawal UU Omnibus Law harus terus dijaga agar berada dalam jalur yang benar. Jangan sampai aksi ini dibajak oleh pihak-pihak yang hendak mencari keuntungan.

Jangan Terjebak Lagi

Kita adalah bangsa yang pelupa. Setiap kali ada konstitusi yang zalim, rakyat bangkit menolak. Namun, seiring berlalunya waktu, tuntutan itu makin lirih dan akhirnya senyap. Rakyat terjebak lagi dengan bujukan solusi ala demokrasi seperti judicial review dan penerbitan Perppu. 

Aturan yang zalim tersebut pun tetap diterapkan dan menindas. Beban rakyat makin berat sehingga mereka sibuk mempertahankan hidup. Hingga terlupa akan zalimnya undang-undang yang pernah mereka protes.

Lantas, aturan zalim yang baru dikeluarkan, rakyat kembali menolak, lalu terjebak dan lupa lagi. Demikian siklus jebakan demokrasi terus berputar. Rakyat terus diberi harapan semu akan perubahan dan kehidupan yang baik. 

Namun, nyatanya perubahan itu tidak terjadi, kecuali ke arah yang lebih buruk. Beban hidup makin berat, jurang ketimpangan kian menganga, oligarki makin menggurita, dan keadilan makin langka. Demokrasi menipu dan terus menebarkan kebohongan, termasuk hoaks kesejahteraan.

Siklus jebakan demokrasi ini harus diputus. Syaratnya hanya satu yaitu melepaskan loyalitas pada demokrasi dan menggantinya dengan sistem yang baru. Sistem yang mewujudkan keadilan bagi buruh dan pengusaha, juga bagi semua rakyat.

Keadilan ini diwujudkan melalui penerapan aturan yakni syariat Islam yang memposisikan buruh maupun pengusaha sama-sama sebagai makhluk Allah SWT yang harus taat pada-Nya. Tidak ada sub-ordinasi antara kedua belah pihak. Hubungan buruh dan pengusaha adalah hubungan tolong menolong (ta’awun), keduanya bekerjasama dalam kebaikan dan takwa.

Perjuangkan Sistem Islam

Dalam sistem Islam, besaran upah harus sesuai dengan besaran jasa yang diberikan pekerja, jenis pekerjaan, waktu bekerja dan tempat bekerja. Tidak dikaitkan dengan standar hidup mininum masyarakat sebagaimana konsep UMR/UMK. 

Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat menjadi tanggungjawab penguasa, bukan pengusaha. Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar kolektif rakyat seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan. Negara juga memudahkan rakyat untuk bekerja memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Pengusaha tidak dibebani untuk menanggung hajat hidup pekerja. Namun, pengusaha wajib memenuhi hak upah pekerja secara makruf. Harus ada akad yang jelas antara buruh dan pengusaha tentang spesifikasi pekerjaan dan besaran upahnya. Termasuk jadwal pemberian upah, apakah harian, mingguan, atau bulanan.

Majikan/perusahaan haram  mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. Semua ini termasuk kezaliman yang akan diselesaikan negara dengan sanksi yang menjerakan. 

Saat terjadi perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, negara yakni khilafah akan menyelesaikan secara adil dengan syariat Islam. Dengan penerapan syariat Islam oleh khilafah, buruh akan sejahtera dan pengusaha akan nyaman menjalankan bisnisnya.

Inilah sistem yang layak diperjuangkan oleh para mahasiswa dan semua rakyat Indonesia. Sistem khilafah adalah satu-satunya harapan setelah kegagalan demokrasi kapitalisme terang benderang di depan mata kita. Sementara sistem sosialisme komunis telah terlebih dulu gagal dan terkubur dalam puing-puing kehancurannya.

Saat ini adalah momen bagi buruh, mahasiswa, pelajar dan bahkan k-popers untuk bersatu padu mewujudkan perubahan hakiki dengan mengucapkan selamat tinggal pada demokrasi yang memberi harapan palsu. Serta beralih pada sistem Islam dengan seperangkat aturan yang mewujudkan keadilan. Bagi buruh, mahasiswa, pengusaha, dan kita semua rakyat Indonesia. Wallahu a’lam bishshawab. []





Posting Komentar untuk "Walau Ancaman Menghadang, Mahasiswa Tetaplah Berjuang"