Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Show Politis atas Tragedi Prancis




Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)

Dua penyerangan dalam sehari serta serangan di dekat Konsulat Prancis di Jeddah memicu penerapan status darurat keamanan nasional di Prancis. Sementara itu, kecaman dari berbagai negara mayoritas Muslim terus mengalir atas sikap presiden Emmanuel Macron terkait kartun yang menghina nabi Muhammad SAW. 

Aksi teror terkini dilakukan seorang pengungsi asal Tunisia yang baru memasuki Eropa sebulan lalu lewat Italia. Pria bernama Ibrahim Aouissaoui (21 tahun) tersebut menyerang pengunjung gereja Notre-Dame de Nice dan menewaskan tiga orang.

Ia kemudian ditembak kepolisian hingga kritis. Penegak hukum menyimpulkan serangan tersebut adalah terorisme meski tak menyebutkan afiliasi kelompok penyerang. Pada hari yang sama, seorang penjaga keamanan di Konsulat Prancis di Jeddah, Arab Saudi, ditikam. Kepolisian juga menangkap seorang pengungsi Afghanistan yang terlihat membawa pisau saat hendak menaiki kereta di Lyon. 

Atas serangan-serangan itu, Perancis menyatakan kondisi darurat keamanan. Presiden Emmanuel Macron menyatakan, militer Prancis sedang dikerahkan untuk melindungi semua tempat ibadah, terutama Gereja Katolik. Jumlah tentara di jalanan akan dinaikkan dari 3000 menjadi 7000 personil.

Serangan mematikan kemarin adalah yang kedua di Prancis dalam bulan ini. Dua pekan lalu, seorang guru dipenggal setelah videonya menampilkan kartun nabi Muhammad yang dilansir majalah Charlie hebdo. Kejadian itu ditingkahi Macron dengan tekad tak akan melarang penerbitan karikatur tersebut. Komentar itu memicu kemarahan di seluruh negara mayoritas Muslim. Macron kembali menegaskan sikap pemerintahannya dengan memberikan pesan dukungan terhadap umat Katolik Prancis dan bertekad untuk menghadapi ancaman teroris.

Muslim di Perancis sendiri secara terbuka mengecam penusukan di Nice. Presiden Dewan Kepercayaan Muslim Prancis (CFCM) Muhammed Moussaoui menyerukan semua masjid ditutup sebagai tanda berkabung atas kejadian tersebut, Jumat (Republika.co.id, 30/10).

Pimpinan negara-negara Muslim juga menyampaikan kutukan atas pembunuhan di gereja tersebut. Kecaman datang dari Turki, Arab Saudi, Indonesia, Mesir, Qatar dan negara-negara lainnya. Di sisi lain, kecaman atas sikap Macron membela penerbitan karikatur juga terus disuarakan. Sebab, pernyataan tersebut telah melukai perasaan lebih dari dua miliar Muslim di seluruh dunia dan berdampak memecah persatuan antarumat beragama di dunia. 

Perkembangan terkini dari Indonesia dan Malaysia yang mengenapi kecaman menyeluruh seluruh wilayah mayoritas muslim dari Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan hingga Eropa menyerukan untuk memboikot produk-produk Perancis terus menguat. Pemboikotan itu dianjurkan hingga nantinya Presiden Macron menyampaikan permohonan maaf.

The Conversation menyebutkan, jajak pendapat menunjukkan 79 persen responden di Prancis merasa, Islam telah mendeklarasikan perang terhadap Prancis dan negara republik mereka. Bahkan, lebih banyak lagi responden berpendapat bahwa langkah Prancis yang menerapkan sekulerisme secara ketat kini terancam.

Jajak pendapat itu digelar setelah pembunuhan seorang guru Samuel patty, oleh seorang pemuda kelahiran Chechnya. Pelaku marah karena Paty menunjukkan kartun nabi Muhammad di ruang kelasnya. Bagi 6 juta muslim Prancis, tragedi beruntun telah menyeret mereka ke dalam ketakutan. Pembunuhan Patty pada 16 Oktober dan serangan yang menewaskan 3 orang di Nice pada Kamis 29 Oktober, adalah tindakan yang memercikkan kemarahan.

Satu dari 10 warga Prancis adalah imigran. Menjadi warga Perancis berarti harus bertindak-tanduk seperti halnya rakyat Prancis. Sekularisme berarti tidak ada tempat bagi warganya untuk menunjukkan identitas keagamaan di hadapan publik. The Conversation menyebutkan, pengecualian hanya berlaku jika mereka memiliki identitas keagamaan seperti umumnya warga Prancis, yaitu Katolik.

Bagi muslim Prancis, setiap serangan teror yang berbau Islam memicu gelombang baru publik yang mempertanyakan loyalitas mereka kepada republik Prancis dan nilai-nilainya. 

Laman _Aljazirah_ menyebutkan, tragedi Pati dan 3 orang di nice menjadi kisah horor pagi muslim Prancis. Mereka mengatakan, aksi itu tak menggambarkan keyakinan ataupun nilai-nilai Islam. Aktivis hak sipil Prancis, Yasser Louati, mengatakan, pelaku pembunuhan tidak bisa membedakan antara Muslim dan Kristen. Sang pelaku memiliki ideologi yang asing dari nilai-nilai Islam. Seorang wanita dibunuh dalam gereja, artinya pelaku ini tidak memegang nilai-nilai suci. Tidak ada batasan moral bagi mereka. 

Politik di Balik Kecaman Negara-negara Muslim

Kecaman dan pemboikotan yang digaungkan oleh beberapa negara besar memang seolah menunjukkan solidaritas terhadap kaum Muslim. Namun, sekedar mengutuk atau memboikot tanpa melakukan 'aksi' sama saja membuka jurang lebar terjadi pelecehan serupa. Maka diperlukan politik luar negeri yang berlandaskan aturan Islam sebagai penjaga seluruh Muslim.

Saat ini sudah menjadi kebiasaan penguasa di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, kerap meminta bantuan negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat dan negara barat lain untuk menyelesaikan persoalan di negara itu, sebagaimana dalam kasus Palestina, Kashmir,

Rohingya dan umat muslim yang terjajah kemerdekaannya

Padahal, negara-negara kolonialis tersebut nyata-nyata memusuhi umat Islam dan terus berusaha untuk menguasai negeri-negeri muslim. Selain itu, hampir seluruh persoalan yang mendera negeri-negeri Islam saat ini sesungguhnya adalah persoalan yang sengaja diciptakan oleh negara-negara kolonialis. Para penguasa itu meminta bantuan negara-negara kolonialis sesungguhnya demi memelihara dukungan mereka untuk kekuasaannya. Karena mereka paham tanpa dukungan negara-negara itu kekuasaan mereka akan mudah roboh. 

Karena itu, dalam negara Islam tidak akan pernah meminta bantuan kepada negara-negara kolonialis yang memusuhi dan memerangi umat Islam untuk menyelesaikan persoalan umat Islam. 

Telah nyata bahwa PBB dan organisasi organisasi internasional lain adalah alat yang digunakan negara-negara kolonialis untuk melancarkan kepentingan hegemoni mereka khususnya di bidang politik. Hal ini bisa dibuktikan dengan resolusi-resolusi PBB yang mengutuk serangan India ke Kashmir atau serangan Israel ke Palestina tidak pernah sungguh-sungguh diperhatikan. Semua resolusi itu tak lebih sekedar _lip service_ yang tak berguna. 

Negara-negara barat menginjak-injak piagam PBB ketika menyerang Afganistan dan Irak, sebagaimana yang selalu dilakukan Israel. Atas semua tindakan itu, PBB diam seribu bahasa, tak berkutik. Meski begitu, masih saja para penguasa negeri-negeri Muslim percaya kepada PBB dan menganggap piagam PBB lebih penting dan lebih mulia daripada wahyu Allah SWT.

Apalagi dengan adanya kasus pembunuhan di Prancis ini. Tentu saja sebagai show politis para negara Adidaya guna mendulang dukungan di tengah kemelut umat Islam yang selalu menjadi alat propaganda. 

Kejadian ini sekaligus menandakan bahwa kekuasaan cenderung memecahbelah demi kepentingan. Kecaman dan kutukan hanyalah omong kosong untuk menunjukkan bahwa negara-negara Muslim seolah bersikap atas tindakan pelecehan tragedi Prancis. Padahal dibalik itu semua tergambar jelas bahwa urusan masyarakat Internasional telah didominasi oleh kekuatan-kekuatan kolonialis. Yaitu, negara-negara kapitalis yang terus-menerus memperkuat cengkeramannya dan menciptakan konflik di berbagai belahan dunia. 

Negara-negara kolonialis sengaja memicu terjadinya peperangan demi kepentingan ekploitasi sumberdaya sekaligus memperbudak bangsa-bangsa di dunia. Sayangnya, umat Muslim yang digdaya belum juga terbangun dari tidur panjangnya. Bahwa ada seperangkat kekuatan besar yang mampu menjaga ketertiban dunia dengan cara yang adil lagi berkah bagi seluruh umat manusia. Wallahu a'lam.

Posting Komentar untuk "Show Politis atas Tragedi Prancis"

close