Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Transformasi Demokrasi dengan Sistem Islam



Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)


Kemenangan Joe Biden pada pemilu Amerika Serikat 2020 disambut lega, bukan hanya bagi warga Amerika namun juga dunia. Terpilihnya Biden dianggap sebagai kemenangan nalar sehat dan optimisme pada masa depan demokrasi. Biden digadang-gadang oleh banyak pihak agar dapat mengembalikan karakter demokrasi AS yang sempat terperosok dalam otokrasi Trumpisme.

Selama empat tahun di era Trump, AS menjadi negara ultra-nasionalis, anti-imigrasi, Banana Republic yang menegasi perannya sebagai de facto pemimpin globalisasi. Disfungsi demokrasi selama era Trump kini telah beralih melalui kemenangan Biden sekaligus sebagai bukti bahwa AS dapat melakukan rekuperasi demokrasi.

Menjadi pertanyaan, apakah popularitas dan pengaruh Trump di partai republik segera lenyap dari lanskap politik AS. Terpilihnya Trump pada pemilu 2016 membenarkan sinyalemen demokrasi sebagai sistem yang kontradiktif. Seperti disinyalir sejumlah filsuf, sistem berbasis suara mayoritas ini inheren banyak persoalan. Trump terpilih dalam sistem demokrasi politik yang ultra-partisan, kental isu rasial, melebarnya kesenjangan sosial, dan konservatisme populis. 

Ini merupakan problem serupa yang dihadapi demokrasi di sejumlah negara lainnya. Selain AS dengan Trump (2016), Inggris memilih Brexit dalam referendum terkait keanggotaan di UNI Eropa (2016). Tidak sedikit jumlah politikus kontroversional menang Pemilu dengan memakai isu populisme, seperti PM Inggris Boris Johnson (2019), Presiden Brazil Jair Bolsonaro (2018), Presiden Filipina Rodrigo Duterte (2016), Presiden Turki Tayyib Erdogan (2014), dan PM Hongaria  Viktor Orban (2010). 

Pandangan Filsuf

Steven Levistky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die menguraikan bagaimana demokrasi runtuh di berbagai belahan dunia. Bukan melalui kudeta militer atau revolusi kekerasan, melainkan berganti rupa menjadi otokrasi secara gradual. Demokrasi begitu rapuh bahkan untuk negara seperti AS yang dikenal matang berdemokrasi. 

Trump begitu leluasa memporak-porandakan demokrasi yang ternyata tak kebal virus otokrasi. Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (1992) pernah mengingatkan adanya potensi "pembusukan politik" dalam sistem demokrasi yang mapan. Praktik manipulasi,kolusi, dan nepotisme rentan menggerogoti keterbukaan, keadilan, dan kesetaraan yang dijanjikan demokrasi.

Banyak kalangan tak menyukai demokrasi, diktator, tiran, demagog atau kaum fanatik-ekstremis. Bahkan, filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, menganggap demokrasi tak layak diamini. socrates menganalogikan mengelola negara dengan demokrasi seperti menahkodai kapal saat mengarungi lautan. Siapa yang sebaiknya menjadi juru mudi kapal? nahkoda yang ahli dan berpengalaman atau siapa saja boleh asal terpilih secara demokratis. Socrates menganggap tak logis memilih sembarang orang menjadi nahkoda kapal. Ia khawatir warga yang tak berpendidikan, miskin referensi, dan mudah dihasut, punya hak untuk turut mengambil keputusan politik penting.

Plato juga tak mengamini demokrasi. Baginya, negara bisa menjadi lebih baik hanya jika dipimpin filsuf. Bagi Plato, demokrasi adalah babak akhir dari runtuhnya negara ideal menuju tirani. Rakyat akhirnya bakal memilih otokrasi untuk mengatasi kekacauan yang diakibatkan demokrasi. Begitu juga Aristoteles, yang menilai demokrasi adalah produk gagal utopia kepemimpinan berbasis opini mayoritas. Para pemikir besar itu meragukan nalar suara warga. Mereka menilai sifat manusia pada umumnya dangkal, abai, dan egois. Mereka mengkritik demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang secara inheren tidak efisien, korup, serta melahirkan politisi tamak dan ambisius.

Dalam demokrasi kerap terjadi mob-rule, intoleran terhadap argumen, atau marak transaksi kekuasaan para oligarki untuk berbagi akses kekayaan. Para filsuf itu tak sepenuhnya salah. Proses demokrasi memang terbukti bisa menghasilkan figur buruk bahkan menjadi tragedi kemanusiaan. Demokrasi pernah menempatkan seorang psikopat maniak seperti Adolf Hitler, menjadi penguasa Jerman untuk mengobarkan perang dunia ke-2 demi mewujudkan ambisinya menegakkan Third Reich pada 1933. Demokrasi era digital juga memenangkan Trumph di Amerika Serikat pada 2016. 

Babak Baru Demokrasi Era Digital

Demokrasi selalu digaungkan dengan jargonnya memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan manusia. Namun, di era digital, mantra demokrasi tak serta merta membawa situasi lebih damai, aman, sejahtera, ataupun setara. Fakta jurang kesenjangan dan polarisasi justru terlihat semakin melebar. Media sosial sebagai katalis bagi perseturuan dan sengketa teknologi informasi, memungkinkan setiap individu mengakses informasi dan beropini dengan mudah dan murah. Masyarakat terbuka di era digital tidak otomatis memupuk sikap atau pikiran terbuka. Justru sebaliknya, membuka kotak Pandora bagi suburnya pemikiran tertutup, kolot, ektrem, insular. 

Demokrasi digital terasa anarkistis karena berbenturan paradigma yang berlangsung nonstop. Medsos berubah menjadi katalis bagi polarisasi politik, kubu politik yang berbeda tak dapat berdiskusi soal fakta secara beradab. Politik kembali menjadi tribalistik, soal kawan atau lawan, soal salah benar secara banal. Umberto Eco, filsuf Italia, menyebut  serbuan ekspresi dan banjir opini di medsos sebagai "the invasion of the idiots". Medsos dibanjiri teriakan dan amarah perseteruan dangkal dan menggeser pemikiran nalar. Kemudahan mengakses dan menyebarkan informasi ini menghadirkan berbagai problematika khususnya ketika teknologi komunikasi tidak sejalan dengan peningkatan level psikologis emosi penggunanya.

Dari ulasan di atas, jelaslah bahwa manusia sendiri ragu dengan sistem buatannya. Fakta yang perlu digarisbawahi ialah demokrasi rusak bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsep bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kerusakan demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-An'am 6: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS Al-Ma'idah [5]: 44). Maka, untuk alasan apalagi demokrasi perlu dipertahankan? []

Posting Komentar untuk "Transformasi Demokrasi dengan Sistem Islam"

close