Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak Menjadi Durhaka, Salah Siapa?


 



Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 


Seorang ibu berinisial S (36 tahun) terancam hukuman penjara 5 tahun. Pasalnya ibu ini dilaporkan anaknya atas dugaan penganiayaan. 

Si anak tidak terima lantaran kuku sang ibu mengenai wajahnya. Ketika si anak mengetahui bajunya telah dibuang sang ibu, ia marah dan mendorong ibunya. Refleks saat mau jatuh, ibunya berpegangan pada kain kerudung si anak dan kuku tangannya sedikit melukai wajah anaknya.

Menilik kejadian tersebut, kebangetan sekali si anak hingga melaporkan ibunya. Seorang ibu yang sudah mengandungnya sekitar 9 bulan lebih, menyusuinya dan merawatnya. Bahkan walaupun si anak berada di posisi yang benar, tetap tidak sepatutnya melakukan tindakan yang menyakiti hati kedua orang tuanya, apalagi ibunya.

Di samping itu, kewajiban berbakti kepada kedua orang tua adalah perintah dari Allah SWT. Kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya tidak lekang oleh waktu dan jaman. Tidak ada bekas ayah maupun bekas ibu. Dan tidak ada bekas anak. Boleh kedua orang tua itu berpisah, akan tetapi kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya akan terus berlangsung. Tatkala kedua orang tua meninggal pun, anak tetap punya kewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya.

Kewajiban berbakti kepada kedua orang tuanya tidak gugur bahkan di saat kedua orang tua memerintahkan perbuatan maksiat. Memang anak tidak boleh taat dalam perintah maksiat walaupun dari orang tua. Akan tetapi berbuat baik kepada keduanya selama hidup di dunia adalah tetap wajib.

Pengertian dan keasadaran demikian harus ditanamkan sejak dini baik oleh kedua orang tua maupun lembaga pendidikannya. Ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sang ibu mengenalkan anak akan kecintaan kepada Allah, Rasulullah dan Islam. Sang ibu mengajarkan akhlaq dan adab yang baik kepada orang yang lebih tua termasuk kepada ayah ibunya. Ibu memberikan contoh dengan menghormati ayah, sungkem dan lemah lembut kepada suaminya. Sedangkan ayah membalasnya dengan menyayangi, membantu dan mendidik ibu dengan lemah lembut. Hal demikian akan terpatri pada diri anak. Akhirnya mereka akan ikut memuliakan kedua orang tuanya.

Di bangku sekolah, kurikulum pendidikan betul-betul didesain untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian yang Islami. Di samping itu, generasi dipersiapkan untuk bisa memikul beban tanggung jawab sebagai pemakmur bumi bukan perusak bumi. Hal yang bisa merusak bumi itu berupa fisik maupun non fisik. Secara fisik seperti melakukan eksploitasi alam tanpa memperhatikan kelestariannya. Sedangkan aspek non fisik yang merusak bumi adalah berupa perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia.

Artinya asas pendidikan bukanlah sekulerisme. Asas pendidikan mestinya harus mampu memadukan potret manusia sebagai hamba Allah yang bertaqwa dan pemakmur bumi. Jadi nilai-nilai keislaman harus tetap menjadi nafas pendidikan. Para peserta didik menjadikan halal dan haram sebagai standar kehidupannya. Mereka akan senantiasa berusaha menghiasi dirinya dengan akhlaq mulia.

Peran keluarga dan pendidikan dalam mendidik generasi akan menjadi optimal tatkala negara melakukan peran strategisnya. Negara adalah pelaksana aturan kehidupan. Negara, pihak yang mampu mengkondisikan individu, keluarga, dan masyarakat. 

Jika negara mengadopsi sekulerisme, maka aturan yang diberlakukannya di semua lini kehidupan tentunya sesuai dengan sekulerisme. Nilai halal dan haram diabaikan. Yang terlihat adalah lahirnya berbagai paradoks. 

Kedua orang tuanya sudah berupaya keras mendidik anaknya. Ehh..ternyata tayangan TV dan atau media lainnya baik cetak maupun elektronik tidak mendukung terciptanya akhlaq yang terpuji. Di sekolahnya, orientasinya adalah materi. Nilai keislaman sangat minim bahkan terabaikan. Ironis sekali. Generasi bangsa dirusak oleh tayangan dan lingkungan pendidikannya. Demikianlah akibat dari negara yang tidak mengindahkan nilai ketaqwaan sebagai hal utama.

Tentunya tidak mengherankan kita mendengar ada fenomena yang mengiris hati. Seorang anak yang memperkarakan ibunya, ataupun fenomena kerusakan lainnya.

Berbeda halnya ketika negara dibangun di atas asas nilai halal dan haram. Tentunya semua kebijakan negara akan diukur dengan timbangan halal haram. Negara akan memperhatikan betul aspek pembentukan generasi yang bertaqwa. 

Dalam perkara pelanggaran dan pidana, Islam telah memberikan arahan dan panduan. Hal-hal yang menjadi cakupan perkara sangsi hudud, jinayat, takzir dan mukhalafat sedemikian jelas untuk dijalankan negara. Berbagai kasus yang tidak tercakup di dalam keempat sistem sangsi tersebut, keluarga dan masyarakat bisa menyelesaikannya berbasis kepada kema'afan. Tentu saja masyarakat yang Islami akan mudah dalam keridhoan dan kema'afan. 

Walhasil demikianlah peran negara guna mensinergikan peran keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan dalam rangka membentuk generasi yang berkepribadian Islam. Keluarga sebagai pendidik pertama, sekolah sebagai penguat dalam penanaman nilai mulia, dan masyarakat melakukan fungsi kontrol. Adapun negara yang menerapkan aturan dan kebijakan demi kebaikan keluarga dan masyarakatnya. 


# 12 Januari 2021

Posting Komentar untuk "Anak Menjadi Durhaka, Salah Siapa? "

close