Pencabutan Lampiran Miras, Akankah Masalah Selesai Tuntas?
Oleh : Habiba Mufida (Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Sebagian publik merasa lega, setelah Presiden Jokowi mencabut lampiran Ill pada Perpres 10/2021 mengenai ketentuan Investasi miras (minuman keras). Bahkan, Ustadz Yusuf Mansur (UYM) mengajak masyarakat untuk sujud syukur terhadap apa yang dilakukan Pak Jokowi berkenaan pencabutan izin miras. Selain mensyukuri, UYM juga meminta rakyat bersikap "gentle" dengan mengucapkan terima kasih kepada Pak Jokowi.
Dari segi ilmu psikologi, masyarakat yang menyambut dengan senang hati atas keputusan seorang pemimpin mencabut peraturan yang dianggap membahayakan adalah sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini juga menunjukkan bahwa, tabiat manusia itu sejatinya menginginkan adanya kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Tak ada manusia yang memiliki akal terlebih mengimani adanya Sang Pengatur Alam Raya menginginkan adanya kerusakan di tengah umat.
Berkenaan dengan miras, Islam memandang secara tegas atas keharaman semua minuman yang memabukkan. Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (TQS Al-Maidah [5]: 90).
Begitu juga hadist Rasulullah Saw, “Khamr adalah induk keburukan. Siapa saja yang meminum khamr, Allah tidak menerima salatnya 40 hari. Jika ia mati, sementara khamr itu ada di dalam perutnya, maka ia mati dengan kematian jahiliah.” (HR ath-Thabarani, ad-Daraquthni, dan al-Qudha’i). Berikut juga hadist, "Khamr adalah biang kejahatan dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari ayahnya.” (HR ath-Thabarani).
Banyak fakta pun berbicara, bahwa dengan mengkonsumsi miras, bisa memicu tindak kejahatan dan kekerasan. Seperti yang dilakukan oleh seorang oknum polisi dalam keadaan mabuk menembak empat orang. Tiga di antaranya meninggal. Salah satunya anggota TNI (kompas.com, 26/02/2021). Begitu juga banyak tindakan asusila bahkan pemerkosaan yang berawal akibat mengkonsumsi miras. Ancaman kerusakan generasi pun tak bisa dihindarkan ketika berbagai minuman dan zat yang merusak akal tak dilarang.
Maka, sungguh sangat jelas bahwa peredaran miras di tengah masyarakat adalah hal yang sangat meresahkan dan mengkhawatirkan. Namun, faktanya peredaran ini sudah berkembang bahkan sebelum adanya peraturan tentang investasi miras yang diatur di dalam Perpres yang lampirannya telah dicabut. Maka, patutkah kita puas dan merasa aman dengan keputusan dicabutnya lampiran Perpres ini? Sudah yakinkah bahwa setelah ini masyarakat akan dihindarkan dari peredaran miras?
Pencabutan lampiran III terkait investasi miras yang diatur dalam Perpres 10/2021 dinilai sebagian masyarakat sebagai wujud sikap demokratis Presiden karena telah memperhatikan aspirasi publik. Padahal jika ditelisik lebih dalam, munculnya Perpres ini tidaklah instan. Perpres ini dilahirkan sebagai bentuk pengejawantahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebagaimana pemaparan laman katadata.co.id (7/10/2020), pemerintah mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan membuka 14 bidang usaha untuk investasi melalui UU Cipta Kerja. Di antara bidang usaha yang dibuka ialah minuman keras yang mengandung alkohol.
Maka sebenarnya akar masalah sesungguhnya dari kegaduhan terbitnya Perpres mengenai klausul investasi miras ada pada UU 11/2020 berasal dari UU Cipta Kerja. Maka apakah mungkin masalah selesai begitu saja padahal akar masalahnya masih saja tertanam secara kuat? Terlebih, sangat mungkin keputusan pencabutan lampiran miras hanya untuk meredam amarah publik sesaat. Terlebih, yang dicabut hanya lampirannya, bukan Perpresnya.
Lampiran yang dicabut pun hanya bidang usaha No. 31 dan No. 32. Adapun lampiran Bidang Usaha No. 44 tentang Perdagangan Eceran Minuman Keras atau Beralkohol dan No. 45 tentang Perdagangan Eceran Kaki Lima Minuman Keras atau Beralkohol tidak dicabut. Berarti industri miras ini tetap berjalan dan hanya investasi (industri) baru yang tidak ada. Terlebih, sebelum Perpres No. 10/2021 dan UU Cipta Kerja terbit, sebenarnya miras sudah menjadi persoalan di Indonesia. Hal ini sebagaimana pernyataan kepolisian saat pembahasan RUU Minol bahwa 223 kejahatan adalah akibat miras. Bahkan di Papua, gubernurnya bereaksi keras ketika Perpres 10/2021 disahkan, karena di Papua miras sudah menjadi masalah.
Selain itu dalam perspektif ekonomi, miras sebenarnya tidak menguntungkan. Sebagaimana hasil penelitian Dr. Drajad yang merilis di AS dan negara-negara lain tampak dampak miras ini justru membebani APBN. Bukannya memberikan untung justru bunting. Dengan demikian, sebenarnya akar masalah berkembangnya miras bukan sekedar Perpres dan UU Cipta Kerja. Akan tetapi, permasalahan yang terjadi adalah bahwa peredaran barang ini sejatinya dijamin oleh sistem ekonomi kapitalisme dikarenakan bahwa barang ini masih ada yang membutuhkan.
Sebagaimana diungkapkan oleh tokoh kapitalisme, Adam Smith yang mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis menyerahkan prinsip kapitalisasi kepada pasar bebas. Standarnya adalah materialisme atau keuntungan. Akibatnya, sistem ini melahirkan pola pikir individualis yang tidak peduli orang lain, bahkan mencampakkan halal-haram. Di dalam sistem kapitalisme, tidak pernah memperhatikan dampak negatif terhadap masyarakat. Selagi masih ada yang membutuhkan, maka barang itu akan ada di tengah masyarakat dan dilegalkan oleh negara.
Maka akan hanya akan menjadi mimpi, miras akan dilarang secara total di dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu, sesungguhnya permasalahan miras ini tidak akan pernah selesai dengan menolak Perpres tentang investasi miras atau menolak UU Cipta Kerja. Terlebih hanya merasa puas dengan adanya pidato presiden yang akhirnya menarik lampiran ke III dari perpres tentang investasi miras. Maka, masyarakat Indonesia yang sejatinya mayoritas muslim ini haruslah menyadari secara penuh adanya kebijakan yang rusak berikut merebaknya perilaku asusila di masayarakat sejatinya adalah buah dari penanaman sistem kapitalisme-sekuler di Indonesia.
Maka, jika kita menginginkan peredaran miras ini benar-benar dilarang di tengah masyarakat maka sudah saatnyalah kita mencampakkan sistem kapitalisme-sekuler dan mengambil Islam sebagai tata aturan kehidupan. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Asy-Syari’, Sang Pembuat hukum, yaitu Allah Swt. Maka, manusia tidak berhak membuat aturan sendiri. Hukum yang diterapkan haruslah berdasarkan syariat Islam. Manusia hanya pelaksana hukum Allah.
Dengan demikian, jika di dalam Al-Qu’an dan as-sunnah melarang secara tegas peredaran khamr, maka tata aturan Islam juga tidak akan memberi celah apapun terhadap produksi dan peredaran miras. Meskipun hal tersebut mungkin memberikan keuntungan bagi negara. Akan tetapi, standar kehidupan tetap halal-haram bukan keuntungan. Hanya aturan Islam satu-satunya yang dapat menjauhkan miras dengan total serta menyelamatkan generasi mendatang. Ini akan terrwujud jika aturan Islam diterapkan secara kaffah. Sudah terlampau lama umat Islam hidup tanpa perisainya. 100 tahun umat Islam telah menanggung beban fardhu kifayah yang tidak akan tertunaikan akibat tidak dibai’atnya seorang Khalifah. Wallahu A’lam bi Showab.
Posting Komentar untuk "Pencabutan Lampiran Miras, Akankah Masalah Selesai Tuntas?"