Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Salah La Nina, Bertaubatlah Segera




Oleh: Alfisyah Ummu Arifah (Guru dan Pegiat Literasi Islam di Medan)


Kuartal akhir tahun 2020 hingga awal 2021, kondisi iklim global dihadapkan pada gangguan anomali berupa fenomena La Nina dengan level intensitas mencapai "moderate" di Samudra Pasifik ekuator (bmkg.go.id, 20/12/2020).

Pemantauan BMKG terhadap indikator laut dan atmosfer menunjukkan suhu permukaan laut Samudra Pasifik ekuator bagian tengah dan timur mendingin -0.5°C hingga -1.5°C selama tiga bulan berturut-turut diikuti oleh penguatan angin pasat.

La Nina telah lama diketahui memiliki dampak yang bersifat global berupa peningkatan curah hujan di wilayah Pasifik barat meliputi Indonesia, sebagian Asia Tenggara, dan bagian utara Australia, Brazil bagian utara, dan sebagian pantai barat Amerika Serikat, namun menyebabkan pengurangan curah hujan di sebagian pantai timur Asia, bagian tengah Afrika, dan sebagian Amerika bagian tengah.

Sebagai bagian dari variabilitas sistem iklim global, La Nina dan El Nino berulang dan memiliki siklus 2-8 tahun. La Nina terakhir pada 2010 dimana untuk wilayah Indonesia dikenal sebagai tahun basah karena hampir terkesan tidak ada kemarau sepanjang tahun akibat curah hujan yang berlebih.

Dampak hidrometerologi berpeluang terjadi. Namun menjadi tak berarti jika sistem hidup kita dibenahi.

Air hujan adalah rahmat dari sang pencipta. Memanfaatkan air hujan berlimpah untuk kesejahteraan dan pengurangan risiko bencana hidrometeorologi adalah hal yang perlu digagas. Pemikiran ini penting mengingat anomali alam ini memang merata di wilayah barat Indonesia.

Kepala BMKG Dwikorita menambahkan, hal tersebut mengindikasikan bahwa La Nina selain memiliki sisi ancaman, namun juga punya peluang positif yang dapat dimanfaatkan seperti panen hujan dan surplus air tanah, peningkatan produktivitas pertanian. Produktivitas pertanian itu memerlukan banyak air. Pemanfaatan telaga yang muncul selama tahun basah untuk budidaya ikan air tawar semusim sangat dibutuhkan.

Pemerintah seharusnya dapat memprogramkan sesuatu yang produktif sebagai program di tahun kemarau basah. Sekaligus introspeksi diri atas kesalahannya dalam pengelolaan SDA yang menyebabkan kerusakan alam.

Semua itu disebabkan oleh konsep kapitalistik yang rakus dan tak pernah puas. Saat fenomena ini ada, menjadi lebih berpeluang lagi terjadi bencana karena salah urus SDA. Konsep produksi sebanyak-banyaknya untuk keuntungan yang sebesar-besarnya itulah yang menjadi sebab. 

Pembangunan infrastruktur di hulu sungai yang merusak dan tak ramah lingkungan menjadi sebab banjir di daerah yang rendah. Sekali lagi jangan salahkan anomali La Nina, semua karena kesalahan penguasaan dan pengelolaan lahan yang tidak benar.

Seharusnya pemerintah mengajak jajarannya untuk bermuhasabah. Kesalahan apa yang sudah dilakukan. Demi rakyat, seharusnya difikirkan bagaimana memanajemen anomali La Nina, agar menjadi berkah. 

Keberpihakan pemerintah pada korporat dalam mengeksploitasi kekayaan negeri harus dihentikan. Jika tidak mau, bencana ysng datang karens kerusakan alam saat El Nina terjadi dapat menyebabkan banyak korban. Pada saat yang sama perubahan iklim pun menjadikan penanganan Covid 19 semakin tidak terkendali. Indonesia kini juara tiga setelah India dan dan Brazil dengan tingkat kematian 350 orang per hari karena Covid 19 ( https://www.worldometers.info/coronavirus).

Data itu mengungkap posisi Indonesia yang mampu mengalahkan AS dan negara lain dalam jumlah kenaikan angka kematian tertinggi per hari. Indonesia di urutan atas ketiga.

Sungguh itu bukan prestasi.Itu aib dan sesuatu yang memalukan. Data yang mengungkap kegagalan negeri ini dalam menangani pandemi.

Semakin panik dan tergopoh-gopoh negeriku ini menghadang badai covid 19. 

Rumah sakit pun penuh dengan pasien covid. 

Fasilitas dan obat-obatan pun sudah mengkhawatirkan persediaannya. Belum tuntas masalahnya, sudah dikejar cuaca ekstrim kemarau basah El Nina. Entah kapan akan berakhir.

Sungguh hal yang memprihatinkan. Padahal beberapa negara sudah bebas Covid. Mereka kini sudah menata kembali negerinya. Tetapi tidak dengan negeri ini.

Pemerintah perlu merapatkan segera secara serius seluruh masalah multidimensi yang terjadi belakangan ini. Sebab kondisinya sudah tak bisa ditolerir lagi.

Kholifah Umar saja saat gempa terjadi langsung instrospeksi diri. Lalu bertanya pada masyarakatnya. Tentang apa kesalahan yang sudah dibuat masyarakatnya hingga bumi berguncang hebat.

Maksiat apakah yang terjadi hingga bencana menghampiri. Sebab beliau memahami, bencana itu karena kesalahan manusia yang telah membuat kerusakan. Bertaubatlah jalan terbaiknya.Tidak ada jalan lain.

Masukan dari para ahli dan pakar dibutuhkan dalam penanganan anomali La Nina. Harapannya agar lahir panduan dan kebijakan untuk mengambil sisi positif dari La Nina. Tetapi itu semua butuh komitmen dan itikat baik penguasa negeri ini. Juga membutuhkan APBN yang banyak. Ironi karena saat ini negeri ini sedang terjerat hutang yang menggunung tinggi.

Hal senada disampaikan Dekan Sekolah Vokasi UGM Agus Maryono yang juga merupakan pakar Ekohidrolik dan pelopor restorasi sungai Indonesia. Ia mengatakan bahwa seharusnya tahun basah bisa dimanfaatkan.

Daerah kering dan semi kering juga dapat memanfaatkan air berlimpah. Air tanah bisa maksimal terisi begitu pula dengan danau, situ, serta telaga. Alur sungai juga bisa sempurna terbentuk.

Namun berharap pada sistem yang ada ibarat jauh panggang dari api. Sistem kapitalis sekuleris yang berlaku tak skan membiarkan koorporat rugi. Masyarakat hanya akan gigit jari. Menelan ludah sendiri. Karena pandemi covid semakin menjadi-jadi. Anomali musim yang ekstrim pun menyapa negeri. Bencana sangat dikuatirkan terjadi. Apa jadinya negeri ini. Berselimut masalah yang tak henti-hentinya. 

Solusi atas semua masalah negeri yang menumpuk itu sesungguhnya tidak sulit. Hanya dengan melirik sistem islam saja. Dengan satu solusi yaitu menerapkan sistem islam dalam kehidupan, semua masalah itu tuntas secepat yang kita inginkan. Pandemi covid dan anomali kemarau basah dan seabrek masalah lainnya akan tuntas.

Terkait masalah yang muncul saat La Nina datang, maka solusinya hanya dua. Pertama, islam melalui Qodhi Muhtasib (hisbah) akan mengaudit seluruh SDA yang masih bisa diselamatkan untuk diurusi secara mandiri oleh sebuah negara.

Lalu SDA yang masih dimiliki oleh korporat asing harus dikembalikan pada masyarakat. Itu milik ummat. 

Hasil dari aset yang dulu pernah dicuri orh mereka pun harus dikembalikan. Hutang Indonesia pada mereka kita bayar dari SDA yang masih ada hasilnya. Hidup apa adanya lebih baik lagi.

Audit besar-besaran oleh Qodhi hisbah wajib dilakukan untuk melihat seberapa besar kepemilikan milik masyarakat Indonesia yang masih dimiliki. UU omnibus UU Migas, UU Minerba yang pro korporat dibatalkan demi hukum yang pernah berlaku. Pelakunya diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya demi hukum. 

Tak cukup sampai disitu, bertaubat satu negeri menjadi pilihan solusi terbaik. Sebab Allah jika memberikan sebuah kesejahteraan dan kemakmuran itu pasti memiliki syarat khusus. Syaratnya negeri itu mesti beriman dan bertakwa padaNya. Bukan hanya takwa pada masalah individunya. Namun juga seluruh sisi kehidupan termasuk dalam pengelolaan negeri. Pengelolaan yang sesuai dengan hukumNya. Bukan kapitalis, sekuleris, apalagi sosialis komunis. Hanya semudah itu. Tidak ada yang sulit. Hanya tinggal diganti hukum yang rusak itu dengan hukum yang solutif dan diberkahi sang pencipta. Insya Allah. 

Posting Komentar untuk "Bukan Salah La Nina, Bertaubatlah Segera"

close