Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demam Pilpres, Cermin Politik Pragmatis Demokrasi



Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP dan Sahabat Visi Muslim Media) 


MAemasuki pertengahan tahun 2021 ini, aroma pilpres 2024 sudah semakin semerbak. Para politisi sudah mulai ambil ancang-ancang dalam debut perhelatan 5 tahunan tersebut. Masing-masing ingin menduduki kursi kepemimpinan negeri ini.

Demi memperkuat dukungan politik, Gerindra melakukan CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) dengan PDI-P. Prabowo dan Puan yang diusung di 2024. Pada pemilu 2019 walau sempat bersitegang, kubu Jokowi dan Prabowo berbaikan. Ibarat sepiring nasi berdua. Lantas, kemana itu suara rakyat yang dengan lantang menyeru penolakan terhadap hasil pemilu 2019? Demikianlah bila cinta sudah bersemi, dunia terasa milik berdua. Lupa sudah dengan hiruk pikuk para pendukung. Lupa sudah dengan tuntutan keadilan.

Beda halnya dengan sosok Ganjar Pranowo yang juga dari PDI-P. Walaupun arus besar partainya berueforia dengan Puan, seolah Ganjar ini punya kekuatan tersendiri. Para pendukungnya mendeklarasikan Ganjar sebagai sosok yang tepat sebagai presiden 2024. Ganjar dinilai akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa seperti pandemi. Sikap elit partainya tidak begitu serius menanggapi deklarasi tersebut.

Langkah yang lebih spektakuler ditunjukkan oleh Ridwan Kamil. RK dengan lincahnya bertemu dengan 2 politikus kawakan negeri ini. Waktu penyematan gelar profesor bagi Megawati, RK menghadirinya. Ia mengaku terpukau dengan orasi ilmiah 'sang profesor'. Bahkan ia berniat akan membukukan nasehat-nasehat Megawati. 

Pada lain kesempatan, RK menemui Prabowo. Pembicaraan mengenai pertahanan negara tentu menjadi topik utama. 

Memang tidak ada pembicaraan langsung mengenai dirinya yang akan nyapres. Akan tetapi bisa ditelisik bahwa pertemuan dengan keduanya akan berdampak signifikan. Mendapat dukungan dari basis massa parpol besar, minimal menunjukkan kapasitasnya yang peduli dengan persoalan kebangsaan yang lebih strategis. Ini dilambangkan dengan ditemuinya sosok Megawati dan Prabowo. Bukankah cinta antara PDI-P dengan Gerindra yang menentukan corak politik pemerintahan negeri ini?

Berbeda halnya dari kalangan politisi PAN. Aspek kedaerahan lebih menonjol. PAN melirik Erick Thohir untuk pilpres 2024. Dengan mengunggulkan asal daerah Lampung digunakan untuk mengangkat basis massa di Lampung.

Kalau kita mencermati pasca pilpres 2019, berlangsungnya pemerintahan Jokowi di periode ke-2 ini baru berjalan sekitar 2 tahun. Artinya masih tersisa 3 tahun masa Presiden Jokowi hingga 2024. Jadi sangat dini bila membicarakan pilpres dan pemilu. 

Kondisi pemerintahan, bangsa dan negara dalam 2 tahun ini adalah efek dari periode sebelumnya yakni 2014-2019. Utang negara membengkak hingga sekitar Rp 6.579 trilyun per April 2021. Kasus Mega korupsi yang tidak jelas penyelesaiannya. Baik itu kasus Jiwasraya, Asabri dan lainnya. Termasuk kasus korupsi paling tidak manusiawi yaitu korupsi bansos Covid-19. Keterbelahan bangsa dengan sebutan kadrun dan kampret. Kasus HAM yang tidak menemukan keadilan, termasuk kasus penistaan terhadap Islam. Masifnya kriminalisasi terhadap ulama dan aktifis. Penguasaan SDA oleh asing secara brutal. Penanganan pandemi yang saling kontradiktif dan berbagai masalah lainnya. Melihat kondisi demikian tentunya harus ada upaya untuk memperbaikinya.

Seharusnya ada upaya muhasabah (koreksi) atas jalannya pemerintahan yang justru menyebabkan berbagai ketimpangan terjadi. Di sinilah seharusnya peran parpol. Parpol memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan bangsa dan negara. Rakyat mengetahui hak-haknya yang terabaikan. Kesejahteraan masih jauh panggang dari api. Di samping itu, rakyat mengetahui kewajibannya untuk melakukan koreksi kepada negara. Rakyat adalah pemilik kekuasaan. 

Adapun parpol menjadi garda terdepan penyambung suara rakyat untuk melakukan koreksi kepada penguasa. Para politisi negeri bersatu padu demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Mereka mengingatkan kepada penguasa bahwa kepemimpinan itu adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat terhadap mereka yang tidak amanah. Penguasa yang menelantarkan rakyatnya. Penguasa yang justru memberatkan rakyatnya apalagi itu adalah kaum muslimin, tentunya Allah pun akan memberatkan baginya.

Parpol memainkan kiprah politiknya. Parpol bekerja untuk mengontrol kekuasaan agar kekuasaan dijalankan dengan amanah. Parpol menyadari betul bahwa suatu urusan yang diserahkan bukan pada ahlinya, hanya akan menemui kehancurannya. Artinya bila rakyat menghendaki untuk mencabut kepercayaannya kepada penguasa, alangkah bijaksananya untuk bisa legowo memenuhi keinginan rakyatnya.

Jadi parpol dan para politisi sangat menyadari akan beratnya amanah kekuasaan. Dengan demikian tidak akan ada lagi saling berebut kursi kekuasaan. Kekuasaan itu bukan ajang bisnis politik. Akan tetapi kekuasaan itu digunakan dalam rangka mengabdi sesuai dengan aspirasi rakyat, bukan aspirasi sekelompok elit atau oligarki. Kekuasaan itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan di hadapan Allah Swt.

Akan tetapi di dalam sistem demokrasi sekuler saat ini, kekuasaan menjadi ajang bisnis politik. Mahar politik sebagai dagangan. Mengorbankan idealisme demi meraup suara untuk memenangkan kursi hanya menciptakan politik yang pragmatis dan permissif. Rakyat ditinggalkan dalam belenggu tirani kekuasaan yang menggigit. Para politisi berlomba-lomba dalam kubangan penderitaan rakyat yang tiada ujungnya. Demikianlah selama demokrasi masih berjaya, rakyatlah hanyalah jadi obyek perahan. 

Sudah saatnya mendasarkan aktifitas politik berdasarkan kaidah-kaidah Islam. Sebuah kaidah yang menggariskan bahwa pemimpin suatu kaum dan bangsa adalah pelayan bagi mereka. Pelayanan tersebut pasti akan diminta pertanggungjawaban. Tentunya aktifitas politik akan bisa menjauh dari pragmatis dan permissif. 

Posting Komentar untuk "Demam Pilpres, Cermin Politik Pragmatis Demokrasi"

close