Quo Vadis Komersialisasi Vaksin
Ilustrasi |
Oleh: Alfisyah Ummu Arifah S.Pd (Guru dan Pegiat Literasi Islam)
Pemberlakuan vaksinasi nasional masih berlangsung hingga kini. Program pembentukan herd immunity itu adalah program yang dimaksudkan agar mempercepat program vaksinasi nasional dan memutus rantai penularan Covid-19.
Selama ini vaksinasi gratis, jika akan dikomersilkan tentu memunculkan banyak tanya.
Sayangnya, wajah kapitalisasi vaksin mulai terlihat jelas. Pasalnya pemerintah telah menunjuk pihak PT. Kimia Farma untuk menyelenggarakan program vaksinasi gotong royong. Meskipun namanya gotong royong, program ini berbayar. Antara nominal hingga tiga ratus ribuan. Program ini akan dimulai sejatinya tanggal 12 Juli kemarin.
Namun, program ini ditunda sampai waktu tertentu. Masih ada pertimbangan yang menyebabkan penundaan itu dari pihak pemerintah.
Adapun jenis vaksin yang masuk dalam program gotong royong itu adalah jenis sinopharm. Ada apa dengan program vaksinasi berbayar ini? Tidak cukupkah hanya dengan program vaksin gratis yang selama ini sudah disosialisasikan? Program ini mengundang tanya semua pihak. Karena memang sangat kontroversial.
Komisi IX DPR RI Saleh Daulay mempertanyakan tentang siapa pihak yang ditunjuk pemerintah menjadi vaksinator, siapa pula yang memonitori pelaksanaannya. Lalu jika dilegalkan bagaimana melakukan koordinasi dengan pihak Komnas KIPI (Kondisi Ikutan Pasca Imunisasi), (cnn.Indonesia, 14/07/21).
Anggota Komisi Kesehatan DPR Aliyah Mustika Ilham program vaksin berbayar atau vaksin gotong royong juga akan membuat publik ragu dengan kualitas vaksin pemerintah. Dia khawatir masyarakat akan menganggap bahwa vaksin berbayar lebih baik ketimbang vaksin gratis. “Saya rasa vaksin gotong royong individu ini tidak hanya ditunda tapi saya mohon untuk distop,” kata dia lewat keterangan tertulis, Selasa, 13 Juli 2021.
Politikus Partai Demokrat Aliyah Mustika Ilham, juga menyoroti kebijakan vaksin berbayar atau vaksin gotong royong untuk individu yang terkesan mendadak. Menteri Kesehatan mengatakan bahwa lamanya program vaksinasi disebabkan oleh minimnya stok, bukan karena tidak adanya anggaran (tempo.co,14/07/21).
Menurutnya alasan itu aneh. Sebab masalah stok vaksin seharusnya diselesaikan dengan mendorong vaksin gotong royong yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Bukannya malah mengkomersilkan vaksin.
Bagaimanapun angka kejadian KIPI itu perlu menjadi pertimbangan yang serius. Ketua Komnas KIPI menyatakan ada sekitar 64 persen kasus kecemasan yang menimbulkan gejala pada tubuh kita pasca imunisasi. Mungkin pada orang dewasa tidak terlalu berarti. Namun pada kasus anak akan mengakibatkan anak-anak akan mengalami gejala pusing, kesemutan di wajah dan tangan, hingga pingsan.
Terlihat jelas di sini. Pengabaian pengawasan akibat keamanan vaksinasi sangatlah dinomorduakan. Ada aroma komersil kapital yang mengejar provit dalam program ini. Hal ini menunjukkan cara penguasa yang tidak memahami bagaimana menjaga kesehatan masyarakat dan tanggung jawab pemerintah dalam menanggulangi munculnya kasus KIPI ini.
Pakar Biologi Molekuler independen mengemukakan pendapatnya. Bahwa sejauh ini para akademisi baru sampai fase 1 dan fase 2. Fase satu adalah fase dimana vaksin diuji kemampuannya apakah aman dan tidak menyebabkan kematian. Perkiraan fase satu itu dilakukan untuk uji awal.
Lalu fase kedua dimana pengujian vaksin tersebut diuji keamanan sekaligus imunogenisitasnya. Artinya vaksin diuji dari sisi berapa kali penyuntikan sampai tubuh manusia dapat menghaailkan antibodi.
Kedua fase ini dan fase yang ketiga Membutuhkan waktu yang lama untuk pengujian. Sementara itu virus Covid 19 ini mengalami mutasi dalam beberapa varian. Vaksin yang pertama sebelum muncul varian baru covid 19 sudah tidak spesifik lagi dengan varian yang baru.
Inilah kendalanya, sangat lama untuk menghasilkan vaksin yang benar-benar memiliki efektivitas yang tinggi nsncapai minimal 70 persen.
Inilah fase ketiga itu. Dimana vaksin diuji efektifitasnya hingga mencapai angka 70 persen. Jika hanya mencapai 50 persen saja maka vaksin itu tak dapat digunakan. Artinya vaksin itu tidak laku di pasaran. Untuk mengulangi penelitian pada fase satu, dua dan tiga tang diulang lagi membutuhkan lagi waktu yang lebih lama. Jika gagal diulang lagi dan seterusnya.
Demikianlah jika sebuah negara berbasis profit dalam melayani masyarakat. Vaksinasi akan menjadi bisnis negara yang menggiurkan. Saat masyarakat lapar dan hilang mata pencahariannya. Dia harus membeli vaksin.
Permainan nyawa dalam hal ini menjadi sesuatu yang biasa dan harus. Memang yang menjadi tumbal adalah masyarakatnya. Cara berfikir yang komersil ini memang ciri khas kapitalisme.
Paradigma khusus yang sangat cemerlang hanya ada dalam sistem kesehatan islam. Sistem ini menjadikan negara lah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan masyarakatnya.
Pemerintahan Islam akan menggelontorkan dana yang banyak dari Baitul Mal untuk membiayai secara gratis seluruh kebutuhan kesehatan. Mulai dari obat, oksigen, fasilitas kamar, gaji nakes, peralatan bedah, operasi dan peralatan medis lainnya.
Selain itu orientasinya pun ditekankan dalam menjaga manusia (hifzh an-nas). Tidak boleh ada kebijakan negara yang menzalimi masyarakatnya. Termasuklah keamanan vaksin, yang pengujiannya dibiayai oleh negara.
Seberapapun besarnya biayanya. Evaluasi atas keamanan dan efektivitas vaksin dalam merangsang antibodi benar-benar teruji. Pemerintahan Islam menjadikan penelitian ini untuk kebaikan masyarakat.
Abu said Al khudri pernah menyebutkan hadis dari Rasulullah SAW bahwa " Tidak boleh menimbulkan bahaya dan membiarkan tertimpa bahaya, barang siapa yang membahayakan orang lain, Allah akan membahayakannya di akhirat kelak.
Terkait dengan keamanan vaksin dan efektivitasnya jika ditemukan membahayakan maka negara memiliki Qodhi Al-Muhtasib yang memeriksa dan mengawasi. Jadi program vaksinasi akan aman.
Mulai dari penelitian, pengembangan, pembuatan dan sosialisasinya. Karena Qodhi muhtasib ini bersifat independen dan akan menjalankan tugasnya sesuai dengan yang ditetapkan syariat Islam.
Penguasa pun tak layak memaksakan kehendaknya. Jika vaksin itu belum diuji hingga fase aman. Seluruh proses panjang sampai bisa diperoleh vaksin yang aman dan efektif akan dilakukan oleh negara, bukan pihak swasta apalagi asing.
Prinsip pelayanan ini adalah perintah dari Allah pemilik semesta ini. Jadi pemaksaan yang pernah dilakukan oleh presiden AS Trump yang memaksakan pada FDA semacam BPOM AS, obat vemdesivir untuk obat Covid 19 tidak akan terjadi. Karena belum terbukti mampu memblokir kerja virus Covid 19.
Begitu juga saat Trump memaksa melakukan terapi antibiotik untuk kasus yang sama. Padahal belum teruji keberhasilan kerjanya dalam penelitian yang sedang dilakukan.
Wajar, sistem kesehatan yang berbasis kapitalisme memang menjadikan provit dan materi sebagai pijakan. Jika sudah begini, masyarakat akan ragu pada penguasa mereka. Keraguan itu wajar. Karena tidak ada jaminan pelaksanaan pelayanan kesehatan yang aman kecuali dalam sistem kesehatan Islam. Maka adakah jaminan terbaik sistem kesehatan hari ini?.
Wallahu a'lam bish-showaab.
Posting Komentar untuk "Quo Vadis Komersialisasi Vaksin "