Rakyat Bersusah Hati, Pejabat Memperkaya Diri




Oleh : Mutiara Aini (Sahabat Visi Muslim Media)


Fantastis, di masa pandemi covid 19 kekayaan para pejabat naik hingga 70,3%. Termasuk orang nomor satu di Indonesia, presiden Joko Widodo (Jokowi).

Deputi pencegahan dan monitoring KPK pahala Nainggolan menyatakan bahwa laporan kenaikan tersebut diketahui setelah pihaknya melakukan analisis terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) periode 2019-2020.

Hal ini pun mendapat sorotan dari Analis Kebijakan Publik, Muhammad Said Didu. Ia menilai bahwa musim pandemi membawa berkah pada sebagian besar pejabat dan orang-orang kaya di Indonesia. Namun, pandemi covid 19 ini justru membawa bencana bagi rakyat biasa. Ditinjau dari jumlah pengangguran yang kian meningkat dan kemiskinan kian merajalela.

Terhitung ada 58 persen menteri yang kekayaannya bertambah lebih dari satu miliar rupiah. Sementara 26 persen menteri kekayaannya berkurang dari Rp 1 miliar begitu juga anggota DPR.

Buah dari Penerapan Sistem Kapitalis

Sebuah fenomena yang tidak mengherankan dalam sistem demokrasi kapitalistik yang melahirkan lingkaran oligarki. Apalagi berada di tampuk kekuasaan sungguh menggiurkan. Tak heran, banyak manusia tergelincir lantaran harta yang didapatkannya. Keadaan inipun menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa hal ini bisa terjadi? dari mana sumber kekayaan para pejabat negeri ini? padahal, keadaan ekonomi negara saat ini sedang krisis dan sedang dililit hutang. Maka disini perlu diusut tuntas dari mana sumber kekayaan tersebut.

Prinsip kebebasan dan simbiosis mutualisme seakan telah melekat dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sehingga prinsip ini dijadikan pembenaran atas sumber kekayaan yang dimiliki para pejabat, seperti dobel profesi menjadi pengusaha ataupun kepemilikan aset yang mengandung hajat hidup orang banyak. Semua itu bebas dilakukan dalam rangka memperkaya diri, sebab hal ini dilindungi oleh demokrasi.

Dalam sistem ini pula, para pejabat memandang bahwa jabatannya hanya sebagai profesi semata bukan sebagai amanah yang akan dimintai pertangungjawaban. Mereka ingin dilayani secara khusus bukan melayani. Sehingga dampaknya menjadikan masyarakat memiliki karakter individualisme. Mereka digaji dari pajak rakyat, tetapi tidak berpihak kepada rakyat.

Padahal, kehendak rakyat sebenarnya sangat sederhana. Rakyat hanya ingin dipenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Namun, pelayanan yang mereka berikan kepada rakyat tampak setengah hati.

Islam Mencegah Pajabat Gila Harta

Dampak dari penerapan sistem demokrasi kapitalistik tersebut pastinya akan menimbulkan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Adanya Istilah yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin itu benar. Tak sedikit kita temui yang miskin hanya bisa makan nasi Aling. Sementara yang kaya, mereka berfoya-foya hingga tak tau harus menghabiskan uang kemana. Kehidupan kontras seperti ini sudah tidak asing lagi, bahkan terjadi di negara mana pun yang menganut sistem demokrasi kapitalistik. Ekonomi kapitalisme yang dijalankan memang menjadi faktor penyebab mengapa kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebatas jargon tak bermakna.

Sementara, dalam Islam, sejumlah harta kekayaan pejabat diaudit secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya, serta tidak gila harta dan tahta.

Seperti halnya Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat peningkatan harta yang tidak wajar, maka mereka diminta untuk membuktikan bahwa hasil kekayaan tersebut bukanlah hasil korupsi atau hal haram lainnya. Bahkan, Khalifah Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah, terlebih jika diketahui hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan negara.

Selain itu, Islam membina keimanan dan ketakwaan para pejabatnya. Menyadarkan bahwa harta dan amanah yang diberikan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Dalam sistem Islam terdapat Majelis Umat yang bertugas melakukan koreksi dan memberi masukan kepada khalifah dan struktur di bawahnya. Majelis Umat beranggotakan orang-orang yang dipercaya umat untuk menyampaikan pendapat, keluhan, kritik, dan saran kepada penguasa. Mereka dipilih berdasarkan integritas dan kepercayaan, bukan pencitraan sebagaimana dilakukan wakil rakyat dalam sistem demokrasi

Semua itu akan berjalan dengan menerapkan sistem politik Islam yang mengurusi urusan rakyat, dan juga dijalankan dalam sistem pemerintahan Islam secara kaffah.

Alhasil para pejabat tidak akan gila harta, tidak pula memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Sebab, jabatan itu kelak akan menjadi surga atau neraka baginya

Patut dicontoh sosok Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan istrinya, mereka rela mendermakan harta kekayaannya demi rakyat. Mereka lebih memilih hidup sederhana dibanding menanti hisab berat di akhirat.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR Tirmidzi).

Wallahu àlam bisshawwab 

Posting Komentar untuk "Rakyat Bersusah Hati, Pejabat Memperkaya Diri"