Wakil Rakyat Bergaji Wah, Patutkah?
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Baru-baru ini masyarakat Indonesia menjadi terbelalak. Hal tersebut terkait dengan Krisdayanti, anggota DPR fraksi PDI-P yang mengungkapkan akan besaran gaji DPR. Krisdayanti mengungkapkannya melalui siaran di sebuah kanal youtube milik Akbar Faisal.
Sebenarnya masyarakat Indonesia sudah maklum bahwa pejabat negara termasuk wakil rakyat tentunya bergaji besar dibandingkan penghasilan kebanyakan rakyat. Yang menjadikan kaget adalah tunjangan yang diterima anggota DPR terbilang fantastis. Sementara itu kerja DPR yang berimbas pada rakyat sangat minim, bahkan terkesan abai. Apalagi di masa pandemi, tentunya besarnya gaji DPR akan menjadi sorotan.
Dalam kanal youtube, Krisdayanti mengatakan bahwa setiap tanggal 1, ia menerima Rp 16 juta. Lalu pada tanggal 5 tiap bulan, ada tambahan uang sebesar Rp 59 juta. Dana aspirasi anggota DPR sebesar Rp 450 juta diterima 5 kali dalam setahun. Disebutnya dana aspirasi ini sebagai uang negara. Dana aspirasi digunakan untuk mengumpulkan aspirasi dari rakyat yang diwakilinya. Selanjutnya ada dana sebesar Rp 140 juta untuk kunjungan dapil. Dana ini diterima 8 kali dalam setahun. Jadi jumlahnya bisa mencapai Rp 3 milyar lebih dalam setahun, besaran uang yang diterima anggota DPR. Menanggapi keterangan dari Krisdayanti tersebut, Fahri Hamzah menyatakan bahwa yang diungkap Krisdayanti itu belum semuanya. Jadi bisa dibayangkan uang yang diterima anggota DPR sangatlah fantastis.
Pertanyaan yang timbul dari besaran gaji yang diterima oleh anggota DPR sedemikian adalah Apakah besaran gaji tersebut sepadan dengan kinerja anggota DPR dalam membela kepentingan rakyat? Justru yang nampak oleh rakyat adalah seringkali anggota DPR banyak yang tidur saat sidang. Belum lagi masih banyaknya kursi kosong waktu sidang DPR berlangsung. Artinya banyak yang membolos. Belum lagi ditambah dengan sekian banyak undang-undang yang disahkan DPR jauh dari aspirasi rakyat.
Setidaknya terdapat 118 undang-undang yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat. Serikat Petani Indonesia mencatat ada 23 undang-undang terkait petani. Parahnya tidak ada satu beleid pun yang memihak kepada petani. Banyak konflik terjadi antara petani dengan perusahaan yang berujung merugikan petani. Atas nama perusahaan telah memegang HGU maupun HGB, tanah petani bisa diambil kapanpun. Padahal petani sudah menggarap tanah tersebut sekian lama. Termasuk nasib sekelompok petani di Kediri yang harus masuk penjara gegara mereka mengembangkan bibit tanpa melalui uji laboratorium. Para petani ini didakwa melanggar undang-undang Pengembangan Budidaya Tanaman. Tentunya ini adalah bukti hegemoni korporasi dalam peraturan perundangan.
Terdapat pula undang-undang di bidang energi yang tidak memihak kepada negeri sendiri. Hasilnya sekitar 70 persen sumber energi Indonesia dikuasai asing. Ambil contoh disahkannya UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba (Mineral dan Batubara). Di pasal 169A disebutkan bahwa pengusaha tambang dapat memperpanjang kontrak karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan. Pasal ini disebut-sebut sebagai salah satu contoh yang membuktikan bahwa UU Minerba itu diperuntukkan bagi pengusaha tambang.
UU Minerba ini disahkan DPR di tengah suasana pandemi yakni tepatnya pada 12 Mei 2020. Jelas bahwa DPR tidak mendengar aspirasi rakyat. Bahkan pada situasi pandemi Covid-19, DPR telah mengesahkan UU HIP dan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Sangat disayangkan tatkala bangsa ini membutuhkan percepatan dalam menanggulangi pandemi, justru wakil rakyat membahas undang-undang yang tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat. Tidak bisa dibenarkan dengan alasan sudah masuk prolegnas 2020, maka sejumlah undang-undang tersebut harus segera disahkan. Jika demikian adanya, lantas DPR itu bekerja untuk kepentingan siapa? Selanjutnya dana aspirasi dan dana kunjungan dapil sebegitu besar sebagaimana yang diungkapkan oleh Krisdayanti dibuat untuk apa, jika mereka tidak bisa membela kepentingan dan kesejahteraan rakyat?
Fenomena gaji DPR yang fantastis tersebut hanya menjelaskan kepada rakyat bahwa wakil rakyat sudah mati nuraninya. Bukankah kondisi rakyat masih terpuruk dalam kemiskinan dan keterbelakangan? Sebelum adanya pandemi Covid-19, angka kemiskinan di Indonesia masih bertengger di atas angka 25 juta. Sedangkan di masa pandemi, angka kemiskinan tembus di 27,55 juta. Indeks kelaparan di Indonesia sebelum pandemi masuk kategori serius. Anehnya saat pandemi, indeks kelaparan di angka 20,1 lebih baik dari sebelum pandemi. Tentu saja hal ini terjadi. Di masa pandemi ini, banyak pejabat negara yang kekayaannya bertambah. Jadi pendapatan per kapita meningkat karena disumbang oleh banyaknya kekayaan pejabat negara yang meningkat.
Demikianlah kondisi politik di dalam sistem demokrasi yang sekuler. Untuk bisa meraih suatu jabatan politik dan publik, ada politik dagang sapi yang harus dijalankan. Bila seseorang ingin menjadi wakil rakyat, maka ada sejumlah modal yang harus dikeluarkannya. Seorang publik figur seperti artis yang ikut nyaleg menghabiskan dana dari 200-800 juta rupiah. Sedangkan aktifis parpol menghabiskan Rp 500 juta hingga Rp 2 milyar. Bagi seorang pengusaha bisa menghabiskan hingga Rp 6 milyar. Ini adalah biaya kampanye saja. Maka tidak mengherankan bila seorang pejabat termasuk seorang wakil rakyat berpikir untuk kembali modal terlebih dulu, setelah itu baru memikirkan rakyat. Hal-hal demikan ini yang memicu terjadinya tindak pidana korupsi.
Wakil Rakyat dalam Islam
Wakil rakyat dalam Islam disebut dengan istilah Majelis Syura. Majelis Syura ini berhak melakukan koreksi dan memberikan pandangan kepada penguasa.
Bila kita merujuk kepada pengertian politik dalam Islam di dalam Kitab Afkaru Siyasi disebutkan bahwa politik itu aktifitas yang mulia. Politik Islam didefinisikan sebagai pengurusan semua urusan rakyat baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri, negara menerapkan aturan Islam. Sedangkan rakyat melakukan koreksi atas pelaksanaan aturan oleh negara.
Rakyat melakukan koreksi kepada penguasa bisa secara individual, melalui partai politik maupun melalui Majelis Syura. Praktek mengoreksi penguasa ini berlangsung dan dipraktekkan sejak masa Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw seringkali bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Beliau Saw seringkali meminta masukan dari keduanya. Rasul Saw pernah menyatakan bahwa tatkala Abu Bakar dan Umar telah berada dalam sebuah masyurah, maka Rasul Saw menyepakatinya. Masyurah dalam hal ini adalah sebuah kesepakatan dan kebulatan tekad untuk melaksanakan suatu keputusan bersama dari hasil musyawarah.
Tradisi ini terus berlangsung hingga masa Khulafaur Rasyidin. Pada masa Khalifah Abu Bakar ra, Umar ra seringkali memberikan masukan dan koreksi atas kebijakan Abu Bakar ra. Umar ra pernah memberikan masukan agar ada panitia dalam membukukan kitab suci al-qur'an. Termasuk Umar dan sejumlah sahabat yang memberikan masukan kepada Abu Bakar dalam kaitannya menghadapi kabilah-kabilah yang tidak mau membayar zakat. Walaupun akhirnya yang terlihat lebih kuat argumennya adalah keputusan Abu Bakar ra.
Di masa Kholifah Umar ra, para sahabat tetap memberikan masukan dan koreksi. Syifa pernah memberikan koreksi atas kebijakan Umar ra yang membatasi jumlah mahar seorang wanita. Begitu pula, Umar ra pernah harus mengurungkan niatnya masuk ke syam dan terpaksa kembali ke Madinah tatkala ada seorang sahabat yang mengoreksi Umar ra yang akan memasuki daerah tahun seperti Syam dengan menyitir sebuah hadits.
Para ulama salafus sholih pun tegas dalam memberikan koreksi atas kebijakan para penguasa. Bahkan mereka tidak mempedulikan akibat apapun yang akan diterimanya. Bahkan mereka siap untuk mengorbankan nyawanya demi menyuarakan kebenaran kepada para penguasa. Sebagai contoh Said bin Jubair ra yang dibunuh Hajjaj bin Yusuf saat Said mengoreksi Hajaj.
Rasul Saw bersabda:
افضل الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil di depan penguasa yang jahat.
Kalimat yang adil maksudnya adalah perkataan-perkataan yang sesuai dengan hukum-hukum Islam. Kalimat yang adil adalah berisi nasehat agar penguasa mengurusi rakyatnya dengan adil, menjauhi kedholiman dan menerapkan hukum Islam kepada rakyatnya.
Jadi melakukan koreksi kepada penguasa merupakan kewajiban dalam Islam. Oleh karena itu, dalam melakukan kewajiban mengoreksi penguasa, maka rakyat melakukannya penuh dengan keikhlasan. Mereka bukanlah golongan oposisi terhadap pemerintah. Karena bila pola berpikirnya sebagai oposisi tentunya koreksi yang dilakukan tidak akan obyektif, tapi sesuai dengan kepentingan.
Di samping itu, majelis syura tidak memiliki hak menyusun hukum dalam bentuk undang-undang. Bukankah saat DPR sedang bersidang membahas undang-undang, sangat berpotensi sarat dengan kepentingan? Contoh dalam pengesahan UU Minerba yang membawa kepentingan pengusaha tambang.
Majelis Syura dalam Islam membawa kepentingan rakyat. Mereka bukanlah corong bagi kepentingan golongan dan partainya. Sedangkan di setiap wilayah, akan ada majelis wilayah. Majelis Wilayah ini berasal dari orang-orang asli daerah tersebut yang menjadi representasi masyarakat. Masukan mereka terkait dengan kondisi nyata rakyat di wilayah Wali atau amir di daerah tersebut. Tentunya hal ini akan membantu para Wali dalam melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah arahan Islam dalam melakukan koreksi kepada para penguasa. Tentunya koreksi tersebut bertujuan guna menjaga kelurusan pelaksanaan hukum-hukum Islam atas rakyatnya.
#28 September 2021
Posting Komentar untuk "Wakil Rakyat Bergaji Wah, Patutkah?"