Gurilaps Jabar: Meningkatkan Ekonomi atau Liberalisasi?
Oleh : Tri Sugiarti (Sahabat Visi Muslim Media)
Gurilaps Jabar di Masa Pandemi Covid 19
Sektor pariwisata digadang-gadang menjadi salahsatu yang akan menjadi leading sector dalam pemulihan ekonomi Nasional dan daerah di tengah pandemi covid 19. Hal ini pun ditegaskan oleh Presiden, bahwa wisata menjadi tumpuan dalam pmbangunan ekonomi, wisata diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga dilakukan berbagai program untuk tiap-tiap daerah agar masing-masing memiliki kapasitas mengelola dan memahami potensi wisata mereka.
Saat ini Provinsi Jawab Barat yang dikenal dengan salahsatu provinsi yang memiliki ribuan destinasi wisata telah siap dengan gas nya dalam menjalankan program wisata yang telah dirancang pada tahun 2018 lalu, Program tersebut dinamai dengan gurilaps. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT.Jasa Pariwisata (Jaswita), Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah meluncurkan aplikasi digital paket petualangan bernama Gurilaps di Festival Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jawa Barat pada Sabtu (Kompas.com, 17/11/2018). Program ini merupakan salah satu realisasi program 100 hari kerja pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.
Gurilap dalam bahasa Sunda bermakna bercahaya, cahaya kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestarikan. Ditandai dengan perilaku mensyukuri keindahan alam sebagai sumber kehidupan dan menampilkan ritual upacara adat seperti nadran, ronggeng, ngarot, dondang, dan lainnya. Keindahan alam dan keragaman budaya menjadi daya tarik wisata di Jawa Barat. Ini tertuang dalam Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat tahun 2016-2025. RPJMD Provinsi Jawa Barat menuliskan dalam Tematik Sektoral CG 7 disebutkan bahwa sektor pariwisata menjadi salah satu kegiatan prioritas tepatnya pada sasaran keempat berbunyi “Pengembangan Destinasi Wisata Siap Kunjung dan Destinasi Wisata Dunia”. Sejalan dengan kebijakan tersebut maka disusun dokumen rencana besar wisata dunia di Jawa Barat.
Kapitalisasi dan Liberalisasi pada Gurilaps Jabar
Pemerintah sendiri mengaggap pariwisata menjadi sektor andalan agar terjadi arus modal dan investasi dari berbagai negara, baik korporasi maupun personal ke suatu negeri. Hal inilah yang menjadikan pariwisata didaulat menjadi tumpuan pemulihan ekonomi. Dengan demikian, Presiden Joko Widodo memberikan berbagai kemudahan untuk para investor asing untuk bisnis di bidang pariwisata Indoneisa. Hal ini dapat terlihat dari kebijakan presiden yang mengarahkan BKPM untuk mengurus mulai tax holiday, tax allowance hingga perizinan awal investasi dengan memakan waktu hanya 3 jam saja bagi rencana investasi minimum Rp100 miliar dan rencana penggunaan tenaga kerja minimum 1000 orang. Banyaknya reformasi di sisi birokrasi dan peraturan investasi, diharapkan banyak investor asing yang melirik potensi untuk berbisnis di Indonesia. Ketika investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya pada destinasi wisata, Menurut Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Negatif Investasi (DNI 2016), ada sekitar 18 bidang usaha dengan 3 pembatasan kepemilikan modal bagi investor asing. Untuk kepemilikan modal asing sampai dengan maksimal 67% adalah: Museum Swasta, Peninggalan Sejarah yang dikelola oleh Swasta, Biro Perjalanan Swasta, Hotel Bintang Satu, Hotel Bintang Dua, Hotel Non Bintang, Jasa Akomodasi Lainnya (Motel), Jasa Impresariat Seni, Karaoke dan Pengusaha Obyek Wisata Alam di luar Kawasan Konservasi.
Untuk kepemilikan modal asing sampai dengan maksimal 70% adalah: Jasa Boga/Catering, Billiard, Bowling, Lapangan Golf, Jasa Konvensi, Pameran dan Perjalanan Wisata (MICE), dan Motel. Dan terakhir untuk kepemilikan modal asing sampai dengan maksimal 100% adalah: Restoran, Bar, Cafe, dan Gelanggang Olahraga (Renang,Sepakbola,Tenis Lapangan,Sport Center). Pada prinsipnya, menurut Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal (Perka BKPM 14/2015) sebagaimana yang telah diubah oleh Perka BKPM No 6 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Perka BKPM 14/2015 adalah bahwa untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tidak ditentukan besaran nilai investasi dan permodalannya.
Pemerintah Jabar sendiri tengah optimis dan serius dalam merumuskan arah kebijakan pengembangan destinasi wisata dunia di Jabar sebagaimana termuat dalam dokumen rencana besar wisata dunia pada tahun 2025 di Jawa Barat. Berbagai fasilitas sedang dalam proses pembangunan, diantaranya: Merampungkan pengayaan Pelabuhan Patimbun dan Bandara Kertajati, dibangun segmen Jalur Tengah Selatan (JTS) yang meliputi Bagbagan, Kiaradua, Lengkong, Segaranten, Tanggeung, Ciwidey, Pangalengan, Cikajang, Bantar Kalong dan Kerta Rahayu. Panjang jalan ini adalah sekitar 321,26 kilometer, pengembangan kawasan perkotaan Cekungan Bandung, mulai dari pemulihan daerah aliran sungai (DAS) Citarum, pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) Kertasari, penanganan sampah tuntas kawasan, pengintegrasian sistem angkutan umum massal perkotaan, pembangunan kawasan metropolitan Bandung Raya, reaktivasi rel kereta api Rancaekek-Tanjungsari-Kertajati, serta penyediaan Bandung Raya Bus Rapid Transit (BRT), pengembangan wilayah Bodebekpunjur–Karpur (Bogor-Depok-Bekasi-Puncak-Cianjur-Karawang-Purwakarta). Pembangunan Infrastruktur di Kota Bogor. Selain itu, berbagai kawasan elit berupa perumahan dan apartemen telah dipersiapkan yang nantinya dapat menjadi hunia para wisatawan asing.
Apabila melihat kondisi masyarakat di kawasan yang digadang-gadang sebagai pariwisata dunia seperti Bali dan Lombok, ternyata kehidupan yang diidam-idamkan tak kunjuk hadir. Kenyataannya warga Lombok dan Bali kewalahan dengan mahalnya biaya kebutuhan sehari-hari semenjak daerahnya dijadikan destinasi pariwisata dunia. Harga-harga menjadi naik menyesuaikan daya beli wisatawan. Harga tanah dan hunian menjadi selangit, tanah dan hunian kini dimiliki orang-orang kaya yang notabene adalah penguasa dari luar negeri. Warga lokal ngontrak di daerahnya sendiri. Belum lagi, penampakan interaksi sosial dan gaya hidup bebas yang dipertontonkan wisatawan barat. Berimbas pada pola fikir dan pola sikap yang rusak tak terkontrol.
Para investor berlomba-lomba ingin menguasai Bali. Terutama investor Asing. Menurut Badan Pusat Statistik provinsi Bali tahun 2013 jumlah hotel berbintang lima ada 54 hotel, berbintang empat ada 62 hotel, hotel berbintang tiga ada ada 63 buah. Hotel-hotel tersebut umumnya milik investor asing dengan pendanaan yang kuat sehingga mampu menguasai lahan-lahan yang luas. Dengan harga jual tanah di Bali yang terus naik, berkisar 400 persen setiap tahun, masyarakat tergiur melepas milik mereka kepada investor. Hasil penelitian K3NI (Kelompok Kerja Krisis Nominee Indonesia) ada 50.000 warga negara asing (WNA) memiliki properti dan tanah di Bali. Ada 7500 kepemilikan villa oleh orang asing (Berita Bali. 2015). Wilayah-wilayah Publik yang Eksklusif. Beberapa tempat publik seperti sawah, pantai, pulau dimiliki secara eksklusif oleh pihak swasta.
Hal ini dapat menjadi gambaran bagaimana sebuah kota dijadikan destinasi wisata apalagi wisata dunia di era kapitalisme-liberal. Alih-alih menguntungkan, yang jelas adalah menghancurkan. Manusia menjadi budak nafsu dan terjerat pada kubangan kemungkaran. Tentunya kita tak ingin warga Jawa Barat pun menjadi semakin terjerumus dalam jebakan para penjajah barat.
Pariwisata sebagai Syiar Islam
Islam merupakan ideologi yang memiliki perangkat aturan yang komprehensif. Pariwisata tak luput dari pengaturan Islam. Pariwisata di dalam aturan Islam merupakan sarana dakwah dan propaganda, bukan sebagai sumber devisa apalagi tumpuan pemulihan ekonomi. Karena pos pembiayaan negara diambil dari pengelolaan SDA (harta milik umum), pos fa’i dan sejenisnya serta sedekah. Pengelolaan barang tambang dan SDA lainnya sepenuhnya dipegang oleh negara. Asing tidak boleh ikut campur di dalamnya. Hasil pengelolaannya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Keindahan alam yang dijadikan destinasi wisata, bagi wisatawan muslim menjadi pengokoh keimanan, sedangkan bagi wisatawan nonmuslim menjadi objek dakwah. Mereka tidak hanya dibiarkan menikmati keindahan alamnya saja, tetapi juga diberikan penjelasan mengenai alam raya, hakikat penciptaan dan kehidupan manusia dan alam semesta. Allah Swt berfirman : Katakanlah, “Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (TQS Al-Ankabut: 20)
Selanjutnya, maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’an terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi.
Firman-Nya, “Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (QS Al-An’am: 11)
Adapun cagar budaya menjadi bukti autentik sejarah masa kejayaan Islam dahulu. Sehingga tidak hanya akan jadi romantisme sejarah yang mudah terlupakan, tetapi menjadi keyakinan dan motivasi untuk mengulang kejayaan yang sama masa kini. Adapun peninggalan budaya selain Islam, jika itu berupa tempat peribadatan yang masih dipakai pemeluknya, maka dibiarkan. Itulah makna toleransi sebenarnya. Akan tetapi, jika sudah tidak lagi digunakan oleh penganutnya, maka akan dihancurkan. Karena tidak ada lagi alasan untuk tetap mempertahankannya. Itulah kehebatan pengaturan Islam dalam pariwisata. Hal ini dapat terwujud apabila aturan Islam diterpakan menjadi sistem Negara. Wallahu ‘Alam Bisshowwab
Posting Komentar untuk "Gurilaps Jabar: Meningkatkan Ekonomi atau Liberalisasi?"