Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemberian Remisi : Ironi Pemberantasan Korupsi dalam Demokrasi




Oleh : Ismawati (Penulis dan Aktivis Dakwah)

Korupsi, merupakan masalah sistemis yang tak kunjung mendapat penyelesaian. Di Indonesia, banyak para petinggi negeri melakukan korupsi. Sebab, korupsi adalah jalan pintas memperoleh kekayaan materi. Harta memang dapat membutakan mata. Ironisnya, meski banyak yang tertangkap namun tidak dapat menekan jumlah kasusnya. bahkan, vonis yang diberikan kepada para ‘tikus berdasi’ ini pun masih tergolong rendah dan kerap diberikan remisi (pemotongan masa tahanan).

Seperti dikutip CNNIndonesia.com (20/8/2021) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan remisi terhadap 214 narapidana kasus korupsi. Remisi diberikan bertepatan dengan momen perayaan kemerdekaan RI yang ke-76 tahun. Dari jumlah penerima remisi itu, 210 narapidana korupsi mendapat jatah remisi umum I atau pengurangan masa tahanan. Kemudian ada 4 narapidana korupsi mendapat remissi umum II sehingga dinyatakan bebas.

Djoko Tjandra yang merupakan terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali setelah buron 11 tahun mendapatkan remisi 2 bulan. Hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan, syarat narapidana korupsi mendapat remisi yakni salah satunya telah ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau Justice collaborator (JC). Selain itu juga telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Mempertanyakan Penegakkan Hukum

Sudah bukan rahasia lagi, penegakkan hukum di dalam demokrasi selalu tak sesuai harapan. Kerap tajam ke bawah tumpul ke atas. Jika rakyat kecil yang mencuri sekadar untuk mengganjal lapar di berikan hukuman yang berat. Sementara, pejabat tinggi yang ‘maling’ uang diberikan remisi masa tahanan. Ini jelas sebagai upaya mencederai penegakkan hukum di Indonesia.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai pemberian remisi kepada para koruptor bukan hal aneh di era pemerintahan sekarang. Semangat pemberantasan korupsi sudah jauh melemah. Pernyataan itu berkaca dari sejumlah tindakan rezim yang menurutnya tidak pernah membela agenda pemberantasan korupsi. Ia menyoroti ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan lewat revisi undang-iundang 2019 (CNNIndonesia.com 20/8).

Selain itu, mantan pimpinan KPK Laode M Syarif memberikan pernyatan bahwa remisi narapidana korupsi ini dapat merusak image penegak hukum bukan hanya melanggar PP No 28/2006 tapi juga menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi (detiknews.com 21/8/2021). Perlu disadari, kenyataannya korupsi ini dilakukan secara berjamaah, sehingga semakin mudah berlindung di bawah payung hukum pidana korupsi.

Padahal, tindakan korupsi adalah tindakan keji yang dilakukan manusia-manusia serakah materi. Bagaimana bisa justru hukumannya semakin ringan? Wajar saja, kasus korupsi tidak akan pernah selesai karena hukuman yang diberikan tidak menimbulkan efek jera. Maka, para koruptor hanya perlu menderita sebentar saja di penjara, setelah itu dengan masa tahanan yang dipangkas akan semakin cepat keluar dari penjara. 

Terlebih, dalam Demokrasi hukum dapat dibeli. Siapa saja yang menginginkan sesuatu tinggal memiliki uang yang banyak maka keinginannya dapat segera terpenuhi. Selain itu, bagi para koruptor, mereka seolah dimanjakan meski sedang menjalani masa hukuman. Seperti misalnya, mendapatkan fasilitas mewah dalam penjara, bebas melancong ke luar negeri hingga mendapat remisi masa tahanan seperti saat ini. Sungguh sebuah ironi, hukum hanya tegas pada segelintir orang saja.

Sistem demokrasi ini pula yang sulit memunculkan sosok pemimpin beriman yang antikorupsi. Sebab, Demokrasi adalah sistem buatan manusia yang mudah sekali cacat dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Biaya politiknya saja mahal, maka memungkinkan siapa saja tergiur dengan jabatan tinggi dan bergelimang harta. 

Sistem Islam Antikorupsi

Sebagai rakyat kita pasti sudah muak dengan tingkah laku para koruptor. Tak pernah ada habisnya memakan harta haram untuk kekayaan pribadi. Sementara hukuman yang diberikan hanya sekadar ‘pemanis’ semata. Oleh karena itu, kita tentu mendamba para pemimpin yang bersih dari korupsi. Pemimpin seperti itu hanya lahir dari sistem yang berasal dari Allah Swt. Sang Pengatur hidup manusia.

Sebab, dalam sistem Islam senantiasa lahir pemimpin yang beriman dan bertakwa. Karena keimanan inilah yang dapat menjadi benteng pertahanan melakukan tindakan maksiat salah satunya korupsi. Para pemimpin ini sadar bahwa mencari harta tak sekadar banyak dengan menghalalkan segala cara. Namun, harus melalui jalan yang diberkahi Allah Swt. Pemimpin yang sadar akan tanggung jawabnya akan bersih dari korupsi.

Penegakkan hukum dalam Islam pun sangat tegas. Karena korupsi adalah masalah serius yang harus sesegera mungkin ditindak tegas. Hukuman yang diberikan dalam Islam akan menimbulkan efek jera juga sebagai pencegahan bagi pelaku korupsi selanjutnya. Dalam website MuslimahNews.com disebutkan bahwa dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan seperti diarak keliling kota atau ditayangkan di televisi, penyitaan hartanya, hukuman penjara bahkan sampai kepada hukuman mati.

Dengan demikian, penerapan sistem Islam secara menyeluruh dapat menutup celah bagi para koruptor. Sistem ini sesuai dengan fitrah manusia, di mana demokrasi sudah tidak mampu menyelesaikan permasalahan umat. Saatnya kembali kepada Islam. Sistem yang senantiasa membawa keberkahan. Allah Swt. berfirman : “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan). (TQS. Al-A’Raf ayat 96).


Wallahu a’lam bishowab, 

Posting Komentar untuk "Pemberian Remisi : Ironi Pemberantasan Korupsi dalam Demokrasi"

close