Pojok Literasi Demokrasi, Membawa Solusikah?




Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd


"Penguatan budaya literasi adalah kunci memajukan negeri ini" - Lenang Manggala

Literasi menjadi suatu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan. Baik kehidupan pribadi, masyarakat juga bernegara. Untungnya, kini banyak orang sudah melek pentingnya literasi. Berbagai komunitas literasi tumbuh di negeri ini. Literasi pun dijadikan wasilah oleh negara agar rakyat sadar akan politik. 

Pojok literasi demokrasi "Mang Oded" diresmikan pada tanggal 30 Desember 2021 oleh Plt. Walikota Bandung (Bandung.go.id, 30/12/21). Pojok literasi ini berada di kelurahan Antapani Tengah jalan Jatiwangi Raya, Bandung. 

Sadar Politik Demokrasi 

Didirikan berdasarkan program Komisi Pemilihan Umum Pusat, pojok literasi ini diharapkan menjadi sarana pembinaan masyarakat untuk memahami demokrasi dan semakin kuat dengan demokrasi. Tak hanya itu, di pojok literasi ini pula diharapkan agar masyarakat tahu dan paham tentang informasi ke pemilihan umum. Sehingga bisa menyukseskan pesta demokrasi yang akan digelar nanti. 

Sebagaimana dilansir oleh laman bandung.go.id, Plt. Walikota Bandung sampaikan bahwa Pemkot Bandung Insyaallah akan membantu sepenuhnya. Sehingga mudah-mudahan di pemilu serentak tahun 2024 berkualitas dan berintegritas. (30/12/21)

Gombal Demokrasi 

Demokrasi dielu-elukan di bumi pertiwi. Dengan slogan "Suara rakyat suara Tuhan", kedaulatan diserahkan di tangan rakyat. Berharap konsep dari oleh dan untuk rakyat benar-benar terjadi. Maka, pesta demokrasi pun diadakan secara besar-besaran. Ia disakralkan dalam demokrasi. Sebagai wujud aktivitas yang dinilai paling mencerminkan demokrasi. 

Faktanya? Hanya gombalan yang terjadi. Kedaulatan dalam demokrasi bukan berasal dari rakyat, tapi oligarki kapitalis. Buktinya, dimasa pandemi kini, kesulitan demi kesulitan menimpa rakyat. Tapi kebijakan yang dikeluarkan negara malah lebih berpihak pada para kapital. 

Bisa kita rasakan mahalnya fasilitas kesehatan yang ternyata dibisniskan oleh penguasa. Dilain waktu, saat ribut tentang UU omnibuslaw, suara rakyat yang menolak UU ini justru tidak didengar. Belum lagi hukum yang tajam pada rakyat yang tidak pro dengan rezim tapi tumpul pada mereka yang sekufu. 

Gombal demokrasi dilancarkan saat pemilu datang. Rakyat dirangkul dan diberikan berbagai janji manis hanya sampai pemilihan selesai. Setelahnya, rakyat tak lagi didengar. Lantas, masihkah berharap pada demokrasi ini? 

Islam, Literasi, dan Demokrasi 

Sebagai muslim, tentu wajar jika kita mempertanyakan kedudukan demokrasi dalam Islam. Dari slogan suara rakyat suara Tuhan saja, ini perlu kita kritisi. Apakah perbuatan yang benar menyamakan suara manusia dengan suara Tuhan Pencipta kita? Tentu tidak. 

Allah Yang Maha Kuasa, Maha Bijaksana tak bisa disamakan dengan kita manusia sebagai makhluk Nya. Dalam Islam, kedaulatan tidak diserahkan kepada manusia, tapi berada di tangan Nya. Karena Allah Sang Pencipta paling tahu yang terbaik bagi makhluk Nya. Oleh karena itu, Allah turunkan Islam sebagai agama yang juga aturan kehidupan. Tak hanya itu, Allah pun utus Nabi Muhammad saw sebagai teladan kita. Agar kita memiliki gambaran bagaimana menjalani kehidupan. 

Sungguh tak pantas meletakkan kedaulatan di tangan makhluk, tak pantas pula menyamakan suara makhluk dengan Pencipta. Apalagi konsep kesetaraan ini datang dari manusia yang memang penuh cela. Jangan sampai terbujuk rayu demokrasi yang menggoda. Ia hanya fatamorgana dunia. 

Tentu butuh keimanan yang kuat dalam mengakuinya. Dan ini didukung oleh aktivitas literasi. Sebagaimana kita tahu, "Iqra! " menjadi ayat pertama yang Allah turunkan. Membaca menjadi bagian yang penting bagi kehidupan. Membaca kalam Nya, membaca sirah Rasul, membaca fenomena alam dan mengaitkannya dengan keimanan. Sehingga tak goyah dan tak gentar berpamitan pada demokrasi yang kini dielukan dan kembali pada Islam sebagai aturan kehidupan. 

Dengan islam, visi misi kota Bandung yang Unggul, Nyaman, Sejahtera dan Agamis akan terwujud, insyaallah. 


Wallahu'alam bish shawab. 

Posting Komentar untuk "Pojok Literasi Demokrasi, Membawa Solusikah? "