Rusia Negara Pesaing Baru Atau Korban Politik Amerika?
Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)
Perang Rusia Ukraina belum juga usai. Rusia ingin menjadikan Ukraina sebagai negara tameng terhadap ancaman yang muncul dari Eropa dan Amerika Serikat. Ketika presiden Ukraina ingin bergabung dengan NATO, Rusia pun melancarkan serangan besar agar negara ini kembali pro Rusia.
Pro kontra pun terjadi. Ada yang menganggap Rusia sebagai pelanggar HAM dan kemanusiaan karena menyerang Ukraina yang tak bersalah, membom kota-kotanya yang di dalamnya ada warga sipil. Rusia mencaplok wilayah Krimea yang sebelumnya milik Ukraina dan membiarkan wilayah Donetsk dan Luhansk merdeka karena pro Rusia.
Sedangkan yang pro terhadap Rusia mengatakan bahwa Rusia berhak melindungi negerinya dari kemungkinan didirikannya pangkalan militer NATO di Ukraina. Jika itu terjadi, Eropa dan Amerika bisa melindas Rusia dengan mudahnya. Rusia pun akan kehilangan pamornya sebagai salahsatu negara terkuat di Eropa bahkan dunia.
Bahkan tidak sedikit dari Kaum Muslimin yang pro Rusia. Alasannya karena presiden Ukraina adalah keturunan Yahudi. Bahkan dalam ciutannya di twitter mengakui pendudukan zionis Israel atas bumi Palestina. Sikap pembelaan kepada Israel ini memang salah karena mendukung penjajahn dan penindasan Israel atas Palestina tetapi bukan penyebab utama Rusia menyerang Ukraina.
Ada juga yang beropini bahwa Putin, Presiden Rusia, pernah mengatakan bahwa pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW tidak bisa dibenarkan dan itu melanggar kebebasan agama lain. Islam pun menjadi agama yang berkembang pesat di Rusia karena tingginya toleransi beragama disana. Kalau konflik Rusia Ukraina melebar ke Perang Dunia III, Rusia diperkirakan bisa mengalahkan Amerika dan NATO dan menjadi negara adidaya baru.
Namun tidak semudah itu menilai konstelasi politik internasional. Sikap politik Putin sebenarnya tidak lepas dari haluan ideologi komunis Rusia. Pembelaan Putin terhadap Nabi Muhammad SAW itu sikap pribadi yang harus diapresiasi dan pesatnya perkembangan Islam di Rusia dalam alam sekularisme Islam ritual akan dibiarkan tetapi Islam politik akan diberantas.
Ini dibuktikan dengan invasi Rusia ke Suriah, negeri Kaum Muslimin, demi memuluskan agenda Amerika agar rezim Bashar Al Assad tidak runtuh dan digantikan oleh para mujahidin. Rusia dan Amerika takut kekuatan global akan lahir di Suriah dengan nama Khilafah. Rusia dalam perang Ukraina tidak bermaksud menjadi raksasa dunia untuk menggantikan Amerika. Rusia hanya ingin melindungi negaranya dari kemungkinan serangan NATO dan Amerika.
Rusia meski negara kuat namun tak dapat menaklukkan Ukraina dalam jangka waktu 1-2 hari. Perang terus berkobar selama seminggu dan belum membuahkan kemenangan.
Rusia tak sekuat Uni Soviet dan tidak bisa menguasai negara-negara di luar Benua Eropa. Sedangkan Amerika Serikat mulai sempoyongan dengan tingginya utang luar negerinya dan biaya militer besar yang harus dikeluarkan untuk menangani milisi Islam di Irak, Suriah dll. Kegagalan Amerika di Afganistan membuktikan Amerika sudah mulai kehilangan hegemoninya sebagai negara adidaya.
Memerangi Rusia hanya akan menambah beban perang. Apalagi Amerika tidak ingin Rusia hancur karena di Eropa ada Inggris yang sering mengganggu kepentingan AS di Eropa. Amerika ingin Rusia jadi duri bagi Inggris dan Perancis.
AS membela Rusia secara tidak langsung. Presiden Amerika Joe Biden mengatakan pada Kamis 24/2/2022: “Melarang Rusia dari sistem SWIFT tidak ada di meja saat ini dan bahwa dia (Biden) lebih mengutamakan sanksi yang lain”. Pihak yang menyerukan dijatuhkannya sanksi pelarangan Rusia dari sistem SWIFT adalah Inggris, bukan Amerika. Inggris lah yang menyerukan penghentian kerja sistem SWIFT di Rusia. Seruan itu hanya didukung oleh tiga negara Baltik; Estonia, Lithuania dan Latvia. Jerman sangat menentang pelarangan Rusia dari sistem SWIFT. Sementara Prancis dan Belanda mengatakan bahwa opsi untuk melarang Rusia dari SWIFT hanya akan digunakan jika benar-benar diperlukan (Sumber Arrayah TV,2/3/2022)
Mayoritas negara Eropa masih memerlukan Rusia karena menjadi pematok utama gas alam. Uni Eropa belum bangkit ekonominya karena hantaman pandemi Corona. As dan Eropa kemudian memilih untuk tidak mengeluarkan Rusia dari Sistem Perbankan Global SWIFT. Seperti dikutip dari Katadata.co.id (25/2/2022), Presiden Ukraina dan negara-negara Baltik meminta As dan Uni Eropa untuk mengeluarkan Rusia dari SWIFT agar Rusia kepayahan dan menghentikan invansi.
Namun, Biden mengatakan akan meninjau kebijakan itu (baca tidak melakukannya). Uni Eropa pun menolak permintaan itu (Reuters,25/2/2022). Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan bahwa Jerman adalah mitra dagang utama Rusia (Katadata.co.id,25/2/2022).
Negara-negara Barat masih memiliki banyak kartu untuk dimainkan. Larangan menyeluruh terhadap terhadap bank-bank Rusia dari SWIFT bisa saja dilakukan tetapi sepertinya tidak mungkin. "Jika kita mendorongnya terlalu jauh, buruk bagi kita. Buruk untuk masa depan kita karena merusak SWIFT sebagai infrastruktur secara keseluruhan (Kompas.com,1/3/2022).
Sedangkan Amerika tetap tidak mengirim tentara ke Ukraina agar Rusia tetap kuat menandingi pengaruh Inggris. Amerika ingin agar Rusia terus berseteru dengan negara Eropa yang ingin menghilangkan dominasi AS seperi Inggris. Jika AS dan NATO memyerang Rusia maka yang diuntungkan adalah Inggris.
Sedangkan Ukraina hanya menjadi korban kepentingan AS di Eropa. Ukraina hingga detik ini belum juga dimasukkan ke dalam keanggotaan NATO. Ukraina diprediksikan akan terbagi dua menjadi daerah yang pro Rusia (Wilayah Timur) dan pro Amerika (Wilayah Barat). Amerika menikmati permainan politik ini. []
Bumi Allah SWT, 3 Maret 2022
#DenganPenaMembelahDunia
#SeranganPertamaKeRomaAdalahTulisan
Posting Komentar untuk "Rusia Negara Pesaing Baru Atau Korban Politik Amerika?"