TNI-Polri Tidak Boleh Undang Penceramah Radikal, Kekuasaan Mulai Goyah?





Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 


Dalam forum rapim TNI-Polri (01/3), Presiden Jokowi mewanti-wanti agar TNI-Polri tidak mengundang penceramah radikal. Bahkan presiden menyatakan jika di grup-grup WA TNI-Polri jangan ada diskusi-diskusi tentang menolak proyek IKN. Menurutnya, TNI-Polri tidak boleh menggunakan dalih demokrasi untuk bebas berpendapat. Disiplin TNI-Polri berbeda dengan disiplin sipil. Loyalitas TNI-Polri kepada pemerintah itu mutlak.

Menilik dari pesan presiden tersebut, ada indikasi pemerintah mulai timbul keraguan atas TNI-Polri. Dari memantau grup WA hingga pesan secara langsung kepada TNI-Polri. Apakah kekuasaan mulai goyah?

Bila kita menengok perjalanan sejarah bangsa dan negeri ini, tidak layak pemerintah masih mempertanyakan loyalitas TNI-Polri. Pidato Jokowi itu tanda kepanikan. Bahkan kepanikan itu menular ke seluruh organ TNI-Polri. KSAD Dudung Abdurrachman menghimbau kepada seluruh Pangdam dan Danrem untuk tidak mengundang penceramah radikal dan tidak menolak IKN.

Cikal bakal TNI itu adalah TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang awalnya adalah BKR (Badan Keamanan Rakyat). TKR berjibaku mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Menghadapi agresi militer Belanda ke-1 dan ke-2 hingga menggabungkan Papua Barat ke pangkuan Indonesia. Di lautan, TNI dengan gagahnya melawan penjajah di bawah pimpinan Kolonel Yos Sudarso dengan Kapal Dewa Ruci. Bahkan TNI bersama rakyat mampu memadamkan pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965. Begitu pula TNI mampu memadamkan upaya-upaya disintegrasi bangsa.

Seharusnya Indonesia menjadi bangga dengan track record TNI. Tidak hanya di tingkat nasional, bahkan di tingkat internasional, TNI telah menorehkan nama baik negara di dunia. Misi-misi perdamaian Garuda di bawah komando DK-PBB. Benar-benar Indonesia telah menunjukkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Jadi kurang apa lagi komitmen loyalitas TNI-Polri dalam menjaga bangsa dan negeri ini. Saat ini tatkala Indonesia menghadapi OPM, TNI-Polri yang paling banyak menjadi korban kebrutalan OPM.

Sangat tidak layak pemerintah meragukan TNI-Polri. TNI-Polri sudah terbukti menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia. TNI-Polri menjadi garda terdepan dalam menghadapi setiap rongrongan dari luar dan dalam atas kedaulatan bangsa dan negeri ini. TNI-Polri adalah kekuatan bersenjata guna menghadapi semua bentuk penjajahan.

Apabila TNI-Polri mendiskusikan berbagai wacana terbaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah hal yang wajar. Di tengah jaman digital ini, daya kritis masyarakat dan TNI-Polri mengalami peningkatan. Tentunya hal demikian adalah perkembangan yang baik. Koreksi dari masyarakat, termasuk dari TNI-Polri menjadi stabilisator penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Berbagai masalah yang mendera bangsa dan negeri ini, patutlah membuat sadar semua elemen masyarakat termasuk TNI-Polri bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Anehnya sentimen terorisme dan radikalisme diciptakan hingga menjadi monster bagi daya kritis masyarakat. Negeri ini masih berada dalam belenggu penjajahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, peradilan, dan Hankam. Sementara itu yang dituding penyebab hal itu semua adalah aksi terorisme dan radikisme.

Padahal tabiat asli TNI-Polri adalah penopang dan penjaga kedaulatan NKRI. Maka adalah sewajarnya bila TNI misalnya berusaha untuk membebaskan negeri ini dari semua bentuk penjajahan.

Di tengah era digital tidak layak melarang untuk mengundang penceramah yang disebut radikal. Bila ini dilakukan, amanat reformasi telah dinodai. Seharusnya TNI-Polri dibebaskan untuk mengundang penceramah yang model bagaimanapun. Dari situ, akan muncul diskursus wacana yang dikembangkan di dalam kajian keagamaan. Bukankah Panglima Besar TNI yakni Jenderal Sudirman adalah sosok yang beriman dan bertaqwa serta mempunyai rasa Cinta tanah air yang sangat tinggi. Beliau menjadi lambang perlawanan TNI-Polri atas penjajahan terhadap negeri Indonesia.

Seharusnya negara bangga memiliki TNI-Polri yang sadar akan kedaulatan negeri yang mulai terkoyak oleh kekuasaan oligarki dan campur tangan asing-aseng di negeri ini. TNI-Polri akan menjelmakan dirinya sebagai kekuatan negara pada posisi yang seharusnya.

Disinilah arti penting TNI-Polri menjadi sosok pancasilais sejati. Sosok pancasilais sejati hanya bisa diwujudkan dengan ideologi yang dianut mayoritas rakyat Indonesia yakni Islam. Sosok pancasilais sejati tidak bisa diwujudkan dengan ideologi penjajah yaitu Kapitalisme Sekuler maupun Sosialisme-Komunisme.

Agar pemerintahan tidak menaruh kecurigaan kepada rakyat termasuk pada TNI-Polri bahkan sempat-sempatnya mengintip grup WA, mestinya pemerintahan berpihak kepada aspirasi rakyatnya. Dengan demikian akan menjadi kokoh jalannya pemerintahan. Rakyat bersama TNI-Polri saling membahu membangun negara menuju berkeadilan dan ber kesejahteraan. 

Sebaliknya bila pemerintahan berseberangan dengan aspirasi masyarakatnya, yang ada adalah keresahan. Muncullah hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan seperti membaca postingan di grup-grup WA. Termasuk tidak perlu sibuk dengan wacana radikalisme. Mengingat persoalan bangsa ini bukanlah terorisme maupun radikalisme. Masalah utama bangsa ini adalah penjajahan. Dan guna membebaskan negeri ini dari penjajahan adalah dengan ideologi anti penjajahan yang menjadi urat nadi perlawanan para pejuang kemerdekaan yakni Islam. 


#02 Maret 2022 

Posting Komentar untuk "TNI-Polri Tidak Boleh Undang Penceramah Radikal, Kekuasaan Mulai Goyah? "