Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Di Tengah Derita Rakyat, PPN Naik Lagi



 

Oleh : Anisah Yulaifah 


Belum juga reda derita rakyat saat subsidi minyak goreng di cabut per tanggal 16 Maret 2022 lalu, kini rakyat kembali dibebankan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen. Dan telah diberlakukan per tanggal 1 April 2022, mesti telah banyak penolakan dari berbagai pihak. Kebijakan tersebut telah diputuskan pemerintah dan DPR sehingga tidak akan ditunda.

Faisal Basri, ekonom senior, salah satu yang menolak kebijakan tersebut dijalankan. Alasan paling utama, tidak ada unsur keadilan yang selama ini disampaikan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran.

Keadilan disini adalah ketika PPN Naik 11% dari 10% dan disaat yang sama PPH badan turun dari 25% menjadi 22%. Dan hal tersebut disoroti oleh Faisal Basri, tidak ada keadilan untuk rakyat kecil maupun rakyat kaya, karena semua sama-sama membayar PPN dengan prosentase yang sama.

 Satu hal lagi alasan penolakan kenaikan PPN 11%, sebelum membandingkan PPN Indonesia dengan negara G20, sebaiknya juga melihat tingkat pendapatan pada negara tersebut. Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara Amerika Serikat atau negara maju di G20. Bahkan dengan Malaysia saja Indonesia masih tertinggal.

Hal yang paling penting, menurut Faisal lainnya adalah kini adalah masa sulit. Pemulihan ekonomi masih terlalu dini. Konsumsi masyarakat biasanya tumbuh 5% kini cuma 2%. Masyarakat masih berupaya untuk bangkit namun ditekan akibat kenaikan harga pangan. Pangan memang kelompok yang tidak dikenakan PPN. Akan tetapi kebutuhan sehari-hari lainnya, seperti sabun mandi, alat tulis, seragam sekolah, hingga mie instan akan terdampak. (www.cnbcIndonesia,25/03/2022)

Berbeda dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11 persen, dari semula 10 persen akan berlaku pada 1 April 2022. Kebijakan ini diterapkan guna menciptakan fondasi pajak negara yang kuat.

 Menurut Menkeu, kenaikan PPN ini masih tergolong rendah, mengingat rata-rata PPN di seluruh dunia adalah sebesar 15 persen. Di sisi lain, Indonesia hanya naik dari 10 persen menjadi 11 persen dan akan menjadi 12 persen pada 2025. Aturan ini juga merupakan sebuah upaya untuk menyehatkan kembali APBN yang telah bekerja keras selama pandemi. Dengan begitu, fondasi negara melalui pajak akan semakin lebih kuat.

Menkeu menyebut pijakan pajak harus kuat untuk dapat mengakselerasi pemulihan ekonomi Tanah Air. Dipastikan bahwa pajak ini juga akan kembali kepada rakyat, baik berupa insentif, subsidi sampai bantuan sosial. (www.liputan6.com)

Begitulah gambaran sistem di negara kita saat ini, dimana seharusnya dapat mensejahterakan rakyatnya yang ada malah membuat semakin sengsara dengan kenaikan PPN ini. Hal tersebut karena negara kita menganut sistem ekonomi kapitalis dengan pemikiran praktis tanpa solusi jangka panjang. Dimana yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Pajak dalam sistem Kapitalisme merupakan tulang punggung ekonomi dan menjadi pendapatan terbesar bagi Negara. Maka tidak heran jika negara yang menganut Kapitalisme maka akan menarik banyak pajak yang sejatinya banyak mendholimi rakyat. 

Sungguh sangat jauh berbeda dengan sistem ekonomi Islam, yang mana setiap pihak memiliki andil masing-masing. Islam melarang penguasa mewajibkan pajak terhadap kaum muslim berdasarkan perintah yang berasal darinya sesuka dia. Rasul saw bersabda:

«لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ»

“Tidak masuk surga orang yang menarik maksun-cukai/pajak-” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh az-Zain dan al-Hakim)

 Akan tetapi, ada kondisi-kondisi yang dikecualikan oleh syara’ dari larangan bersifat umum untuk menarik pajak itu. Dinyatakan nas-nas syara’ yang menjelaskan bahwa belanja atasnya adalah wajib bagi kaum Muslim dan bukan hanya wajib bagi Baitul Mal. Dan berikutnya, maka jika yang ada di Baitul Mal tidak cukup untuk dibelanjakan terhadapnya maka pembelanjaan itu beralih dari Baitul Mal kepada kaum Muslim sehingga diwajibkanlah pajak terhadap orang-orang kaya sesuai kadarpembelanjaan wajib untuk kondisi-kondisi itu tanpa tambahan dan diletakkan pada pos yang untuk itu diwajibkan pajak tersebu. Pajak dalam kondisi-kondisi itu ditetapkan oleh penguasa, bukan menurut hawa nafsunya dan sesuka dia, akan tetapi harus sesuai perintah Allah SWT. Berdasarkan hal ini maka apa yang diwajibkan oleh syara’ terhadap Baitul Mal dan kaum Muslim, terhadapnya dibelanjakan dari Baitul Mal. Jika tidak ada harta di Baitul Mal atau harta yang ada habis atau tidak mencukupi, maka khalifah berwenang mewajibkan pajak terhadap orang-orang kaya sesuai kadar kebutuhan itu menurut hukum syara. Dalam kondisi ini pajak tidak haram.

 Dari paparan sebelumnya jelas bahwa supaya boleh mewajibkan pajak untuk pembelanjaan atas suatu kondisi, maka wajib terpenuhi syarat-syarat berikut:

–    Di Baitul Mal tidak ada harta yang cukup untuk pembelanjaan atas kondisi ini.

–    Nas syar’iy menyatakan bahwa pembelanjaan atas kondisi ini adalah wajib bagi Baitul Mal dan bagi kaum Muslim.

–    Pajak yang diwajibkan tidak lebih dari kadar pembelanjaan yang wajib atas kondisi itu.

–    Pajak itu hanya diwajibkan terhadap orang-orang kaya saja yang mereka memiliki kelebihan dari kebutuhan asasi dan pelengkap secara makruf. 

Untuk itu, jika kita menginginkan kehidupan yang lebih baik maka harus kembali kepada sistem Islam yang akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam. Kaum muslimin harus menyadari pentingnya menegakkan sistem Islam, karena ini merupakan sebuah kewajiban dari Allah Swt. Ketika sistem Islam tidak diterapkan sebagaimana saat ini maka banyak sekali kedholiman yang terjadi, untuk itu marilah kita bahu membahu untuk menegakkan sistem Islam. []

Posting Komentar untuk "Di Tengah Derita Rakyat, PPN Naik Lagi"

close