Konflik Rempang, Terusir dari Tanah Sendiri
Oleh : Errita Septi Hartiti (Guru)
Masalah utama di Rempang
Pulau Rempang di Kota Batam tengah menjadi perhatian publik belakangan ini. Warga pulau tersebut bentrok dengan aparat akibat dari konflik lahan. Konflik lahan tersebut berupa rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City yang kabarnya sudah tersiar sejak 2004 silam. Saat itu, Badan Pengusaha (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam menggandeng pihak swasta, PT.Makmur Elok Graha untuk menjalankan proyek tersebut.
Terbaru, pembangunan Rempang Eco City masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023. Pembangunan tersebut juga ditargetkan dapat menarik investasi sebesar Rp 381 triliun hingga 2080 mendatang. Xinyi Group –perusahaan asal Cina- akan berinvestasi dengan membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia dengan nilai investasi pembangunan pabrik diperkirakan mencapai 11,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp 174 triliun. Pabrik akan dibangun di atas lahan seluas 7.572 hektar atau sekitar 45,89 persen dari total keseluruhan lahan di Pulau Rempang yang diketahui luasnya mencapai 16.500 hektar.
Masyarakat Adat Orang Melayu yang hidup secara turun menurun di 16 Kampung Tua di Pulau Rempang Batam pun terancam dimusnahkan. Dengan dalih Proyek Strategis Nasional, BP Batam mengerahkan aparat TNI, POLRI, dan Ditpam BP Batam untuk mengusir paksa Masyarakat Adat di Pulau Rempang Batam dari tanah dan akar budaya yang diwarisi leluhur mereka setidaknya sejak awal abad 18. Peristiwa ini menambah daftar kekejaman negara terhadap Masyarakat Adat, terutama selama hampir 10 tahun pemerintahan Joko Widodo berkuasa, kasus-kasus perampasan wilayah adat meningkat seiring pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek-proyek investasi lainnya. Atas nama investasi, pemerintah tidak ragu merampas, menggusur, dan melakukan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang telah hidup ratusan tahun di atas wilayah adatnya.
Komnas HAM melaporkan bahwa sepanjang 8 bulan terakhir tahun 2023, telah terjadi 692 konflik agraria. Berbagai kasus itu memperlihatkan bahwa pemerintah telah bersikap main kuasa, arogan, dan tidak tahu malu dalam melanggar prinsip-prinsip dasar negara serta mengkhianati cita-cita Indonesia, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kini, negara ini justru tak berbeda dengan penjajah sebelumnya. Jangankan legalitas penguasaan Masyarakat Adat secara kolektif, penguasaan pribadi sebagai warga negara saja cukup sulit didapatkan Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Jika ditelusuri, kenyataan ini tidak dapat terlepas dari adanya keputusan sepihak pemerintah tanpa diketahui apalagi disetujui Masyarakat Adat di Pulau Rempang. Secara sepihak Pemerintah Orde Baru lewat Keppres No.28 Tahun 1992, memperluas HPL untuk BP Batam hingga ke seluruh daratan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Dengan dasar itu Walikota Batam menerbitkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Camat dan Lurah se-Kota Batam yang melarang menerbitkan Surat Keterangan Tanah bagi masyarakat di Pulau Rempang dan Galang. Hal ini makin memperkecil kemungkinan bagi masyarakat untuk mendapatkan status hak atas tanahnya.
Pengakuan hak atas tanah Masyarakat Adat di Pulau Rempang makin dipersulit dengan ditetapkannya Rempang Eco City oleh pemerintah sebagai Proyek Strategis Nasional. Lalu, ketika Masyarakat Adat di Pulau Rempang melakukan berbagai aksi penolakan dan perlawanan, pemerintah menggiring opini publik seakan masyarakat di Pulau Rempang melakukan aksi kekerasan atas upaya penertiban dan pengosongan lahan yang dilakukan pemerintah, serta menuding Masyarakat Adat yang menolak sebagai pihak yang bersalah karena mereka tidak punya sertifikat. Opini pemerintah yang dikembangkan ini adalah bentuk dari hilangnya empati dan kebijaksanaan.
Peristiwa perampasan wilayah adat dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat di Pulau Rempang sebagaimana umumnya juga terjadi di berbagai tempat di Indonesia akhir-akhir ini merepresentasikan kegagalan negara untuk menjalankan amanah perlindungan kepada rakyat, terutama dalam hal ini hak atas wilayah adat sebagai ruang hidupnya. Oleh sebab itu, peristiwa kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang adalah akibat dari adanya upaya sistematis pemerintah untuk hanya mengakomodasi kepentingan korporasi dan investasi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, serta memberangus peradaban membentuk karakter bangsa Indonesia. Masyarakat Adat Melayu di Pulau Rempang, seperti Masyarakat Adat lainnya di seluruh nusantara merupakan komponen penting dalam menjaga identitas Indonesia sebagai bangsa yang besar dan beragam. Berikut pernyataan sikap mereka:
- Mengecam, menolak, dan mendesak pemerintah dan investor untuk menghentikan tindakan perampasan wilayah adat dan segala tindak ,kekerasan kepada warga dan Masyarakat Adat di Pulau Rempang Batam,
- Mendesak pemerintah khususnya BP Batam mencegah ekskalasi konflik yang akan berdampak pada peningkatan korban lebih lanjut dengan tidak mengejar target relokasi 28 September 2023.
- Mendesak pemerintah RI, BP Batam, PT.MEG dan setiap investor baik dalam maupun luar negeri untuk menghormati serta mengakui hak-hak dasar Masyarakat Adat Pulau Rempang Batam,
- Mendesak pemerintah Joko Widodo untuk bertanggung jawab melakukan langkah-langkah konkret guna memulihkan Masyarakat Adat di Pulau Rempang yang telah menjadi korban dari peristiwa ini,
- Mendesak kepolisian untuk segera melepaskan seluruh warga yang ditangkap dan menghentikan penyidikan karena warga tersebut sedang melakukan tindakan konstitusional untuk membela hak-hak mereka yang dirampas oleh penguasa,
- Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang agar Masyarakat Adat tidak selalu menjadi korban dari kebijakan dan pembangunan, tetapi sebaliknya dihormati dan dilindungi sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan HAM,
- Mendesak pemerintah untuk membentuk tim independen yang bertugas untuk mencari fakta dan selanjutnya mengaudit kebijakan terkait penguasaan Negara dan investasi yang berdampak pada perampasan wilayah adat Masyarakat Adat di Pulau Rempang,
Konflik di Rempang bukanlah satu-satunya konflik lahan antara rakyat dan pemerintah. Tampaknya, konflik akan makin sering terjadi saat negara makin terlilit beban ekonomi. Jalan keluar dari kesulitan ekonomi yang bisa pemerintah lihat hanyalah mengobral wilayah berpotensi SDA tinggi demi menarik investor. Tidak jarang, pembangunan tersebut bersinggungan dengan kepentingan (lahan) masyarakat. Oleh karenanya, muncul berbagai regulasi sebagai payung hukum yang melindungi berbagai langkah investasi—yang sejatinya untuk kepentingan mereka sendiri, berupa UU, perda, atau permen.
Rakyat pun terbungkam. Jika tetap bersuara, aparat bertindak. Bahkan, tindakan keras aparat dianggap legal. Oleh karenanya, tidak heran ada beberapa pejabat negara yang menganggap tidak ada tindakan represif aparat, meski nyata-nyata video di media sosial memperlihatkan tindakan aparat yang menyeret warga, mengepung rumah mereka, serta melepaskan tembakan gas air mata di lingkungan Sekolah Dasar. Berbagai elemen masyarakat sipil mengkritik keras tindakan aparat tersebut. Tampak jelas, penguasa tidak lagi memperhatikan aspirasi rakyat. Kekuasaan juga tidak lagi di tangan penguasa, tetapi sejatinya ada di tangan para pemilik modal. Maraknya politik uang dalam pemilu menjadi bukti nyata demokrasi sudah terbajak oligarki.
Penguasa lebih memihak oligarki yang memberinya jalan untuk melanggengkan kekuasaan. Kepentingan rakyat tidak menjadi perhatian utama, bahkan cenderung terabaikan dan terlupakan. Sementara, kepentingan oligarki makin difasilitasi melalui berbagai regulasi. Sungguh, sikap represif terhadap rakyat adalah bukti wajah buruk demokrasi dalam genggaman oligarki. Keberpihakan pada rakyat sejatinya hanya ilusi. Negara sudah berubah menjadi korporatokrasi, yakni kewenangan negara didominasi pengusaha yang memikirkan keuntungan ekonomi untuk dirinya semata, serta abai dengan nasib rakyat.
Keadilan Hanya dalam Sistem Islam
Dalam kehidupan bernegara, tentunya pernah ada konflik antara rakyat dan pemerintah. Bedanya, saat konflik terjadi dalam sistem saat ini, rakyat menemui jalan buntu, tidak ada tempat mengadu. Mayoritas alat kelengkapan negara justru memihak penguasa, mengamini berbagai proyek yang membuat rakyat makin tersisihkan dan terabaikan.
Dalam Khilafah, ada sistem peradilan yang dipimpin Qâdhî Mazhâlim. Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga negara untuk melenyapkan setiap bentuk kezaliman negara terhadap warga negara Khilafah. Mahkamah Mazhalim berhak mencopot khalifah, pejabat, maupun pegawai negara yang melakukan tindak kezaliman. Selain karena kezaliman, Mahkamah Mazhalim tidak berhak sama sekali melakukan pemakzulan. Ini karena pemilik asal wewenang mengangkat dan menghentikan pejabat maupun pegawai negara adalah khalifah. Khalifahlah yang berhak mengangkat dan menghentikan pejabat atau pegawai negara.
Persengketaan antara Khalifah Ali ra. dan rakyatnya—seorang Yahudi—menjadi bukti adilnya sistem Islam. Perseteruan itu terkait baju besi yang masing-masing mengakui sebagai miliknya. Khalifah Ali menyatakan bahwa baju besi yang orang Yahudi pegang adalah miliknya, tetapi beliau tidak mampu mendatangkan saksi. Akhirnya, hakim memutuskan baju besi tersebut menjadi milik si Yahudi. Mendengar putusan hakim tersebut, si Yahudi pun mengakui baju besi itu memang milik Khalifah Ali dan selanjutnya ia masuk Islam. Demikian juga kisah orang Yahudi yang melaporkan kasusnya pada Khalifah Umar ra.. Rakyat yang beragama Yahudi ini mendapatkan tekanan dari Gubernur Amr bin Ash ketika menolak penggusuran rumahnya untuk perluasan masjid. Kemudian, keputusan Khalifah Umar memenangkan si Yahudi atas sang Gubernur membuat tertunjukinya hati si Yahudi akan keagungan Islam sehingga ia pun masuk Islam.
Sungguh, hari ini kita merindukan keadilan tersebut hadir di tengah kita, pemimpin agung yang menjamin hak-hak umat, menyelesaikan persoalan dengan penuh kebijaksanaan, dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Juga pemimpin yang taat aturan Allah dan senantiasa menegakkan keagungan Islam. Itulah pemimpin yang hanya ada dalam naungan Khilafah Islamiah. Wallahualam. [vm]
1 komentar untuk " Konflik Rempang, Terusir dari Tanah Sendiri"