Road to 2024 (37): Politainment dan Bianglala Politik Indonesia
Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik-Media)
Pernah membaca sepintas giant banner “Politik Adalah Jalan Ninja Kita” dan “Politik Santuy dan Santun”? Begitu pun hadir dalam lagu yang dibawakan seniman dan artis terkenal. Hal ini cukup menggelitik di tengah kekeringan gagasan politik yang asyik dan unik. Pasalnya, gambaran politik selama ini dikuasai orang-orang tua, aktivis lama, dan punggawa di kursi kekuasaan. Adapun kali ini, secara demografi pemuda menjajadi sasaran untuk meraup suara.
Topik pembicaraan politik di kalangan pemuda jarang dibahas. Obrolan politik seolah milik orang dewasa dan intelektual. Serta kalangan aktifis yang ngobrolin penguasa dan kekuasaan. Padahal secara hitungan, pemilih pemula dan pemuda mendominasi pada pemilu 2024. Khusus momen ini politisi dan konsultan politik menyusun pola komunikasi yang cocok untuk generasi muda. Komunikasi yang dibangun bukan dalam rangka mengajak langsung, namun mengajak terlibat untuk sebuah gagasan besar.
Terkadang gaya kampanye yang dimunculkan tampak cengegesan dan miskin gagasan. Muncullah ‘gemoy’, ‘santuy’, ‘flashmob’, dan sederet kampanye kreatif lainnya. Justru inilah komunikasi publik yang coba dibangun untuk mendekatkan pemuda agar tertarik. Selanjutnya, gaya politik itu pun dibumbui dengan gagasan perubahan dan program-program yang pro pemuda.
Gaya komunikasi politik yang dibangun kepada kalangan muda kini dibangun dengan apik. Bayangkan, jika pemuda sebelumnya ‘malas ngobrolin politik’ kini pun dikit-dikit bicara politik. Paling tidak ada gagasan perubahan dan kepedulian kepada nasib pemuda ke depan. Tak mengherankan jika dalam visi-misi caleng maupun capres-cawapres pemuda menjadi daya tarik ceruk merebut suara dan dukungan.
Politaiment is Fun
Politaiment merupakan gaya komunikasi politik dengan cara menghibur. Semenjak bangsa ini kehilangan ruang publik dalam mengritik, hal-hal kocak dan menghibur bisa menjadi sarana yang asyik. Sebutan Wakanda dan Konoha berkonotasi kepada sebuah negara. Hal ini untuk menghindari jeratan UU ITE yang dianggap bisa menjerat siapa saja karena multi tafsir dari penegak hukumnya.
Belum lagi negeri ini yang masih jauh dari sejahterah. Kemiskinan ekstrim masih menjadi PR besar. Ekonomi yang seperti bandul tak tentu arahnya. Pajak yang kian meninggi dan mencekik rakyat bawah. Banyak rakyat masih berpendapatan middle income. Hingga keruwetan politik maupun hukum yang seperti menegakkan basah. Seolah banyak masalah tadi menjadikan orang-orang stres. Alhasil untuk menghilangkan kepenatan biasanya lari kepada hiburan.
Roasting dalam stand up comedy pun kini laris dalam setiap kampanye dan podcast. Komika pun kebagian jobs dan diminta membawakan materi ‘tepi jurang’. Ngeri-ngeri sedap jika merosting politisi atau pejabat. Canda tawa dan hiburan dianggap komunikasi yang bisa menembus otak manusia tanpa filterisasi. Nuansa trance pun terbawa karena pendengar dan penerima informasi menikmati suguhannya.
Selain politainment ini masuk ke dalam entertain, juga masuk pada sebuah upaya untuk menarik simpati pemilih pemula dan pemuda. Kenapa politainment ini dipilih untuk menghadirkan politik yang riang gembira, padahal politik demokrasi itu penuh intrik dan susah diwujudukan? Berikut analisisnya:
Pertama, politik selama ini membodohi rakyat. Edukasi tentang politik tak lebih dari mendekati pemilu. Selama ini rakyat memahami politik ialah perebutan jabatan dan kekuasaan. Pertarungan elite politik dan king maker menjadi tontonan publik yang tak asyik. Sudah bisa ditebak jika ujung dari semua politik tampak kotor dan sadir. Edukasi politik yang sahih pun terlupakan. Kader-kader politik pun sekadar memenuhi kuota untuk keterpilihan.
Kedua, bersembunyi dibalik kepolosan dan kekocakkan untuk meraup benefit suara milenial. Milenial atau generasi muda bisa jadi menjadi pemilih pertama di pemilu 2024. Pengalaman politik dan memilih pun belum pernah dilalui. Ibaratkan kekosongan pemahamanan maka dibuatlan upaya untuk mengarahkan pada pilihan tertentu. Generasi milenial dan muda tidak suka yang serius. Lebih pada gaya komunikasi yang kocak, santai, dan friendly. Apalagi generasi muda belum merasakan bagaimana susahnya ketika pajak naik, bbm naik, dan harus menanggung biaya hidup ketika kebijakan tidak pro rakyat. Kepolosan yang sederhana ini menjadi makanan empuk untuk mendekat dan meraup suara generasi muda.
Ketiga, upaya berat politisi kawakan menghadapi disrupsi zaman. Menyesuaikan dengan zaman akan dipilih oleh politisi kawakan yang sebelumnya hidup dalam orde yang berbeda. Berseliweran informasi tak cukup di media cetak baliho, billboard, dan banner sebagai iklan di pinggir jalan. Media sosial yang langsung menyasar person to person dimanfaatkan demi iklan yang mudah, murah, dan efisien. Perubahan zaman inilah yang menjadikan semua turut melek digital dan menjadi sebuah kewajiban.
Keempat, ingin dekat dengan rakyat tapi sudah kehilangan cara apa yang efektif dan efisien. Rakyat kerap menjadi pesakitan dari kebijakan penguasa yang dzalim. Pada hati yang terdalam rasa kecewa dan tak percaya muncul kembali ketika pemilu tiba. Selain juga rakyat kerap lupa diri dengan memilih yang lain, namun sistem yang masih sama. Ya, sama saja. Hal ini juga dirasakan penguasa dan politisi untuk dekat dengan rakyat. Sayangnya rakyat telah memiliki tembok penghalang. Pikir politisi dan penguasa politainment dan pencitraan bisa jadi cara mudahnya untuk sementara ini.
Kelima, mengurai kebosanan dan mencoba citra baik politik demokrasi yang seolah-olah apik. Kalau fokus pada orang memang banyak pilihan. Kalau fokus pada pilihan sistem politik demokrasi ini perlu koreksi dengan seksama dan secermat-cermatnya. Demokrasi telah gagal menghadirkan sebuah wajah kehidupan yang sejahterah dan ideal. Kebosasan dengan bolak-baliknya cara memimpin dan mengeluarkan kebijakan pun seolah sama saja dengan periode sebelumnya. Bisa jadi malah lebih parah atau sebaliknya. Kebosanan rakyat terwujud dengan apatisme untuk mengoreksi penguasa jika salah. Karenanya untuk membangun citra baik, politainment dihadikan untuk menyegarkan padahal ujungnya sama saja demi kekuasaan. Ups!
Kondisi seperti di atas memberikan arti jika politik demokrasi mengalami stagnasi. Pilah dan pilih dalam pemilu seolah menjadi penentu. Padahal di balik itu, sekelompok orang yang berkepentingan dari sisi politik dan ekonomi telah lebih dahulu mengangkangi. Oligarki dan pemilik modal telah membuyarkan mimpi baik dari politisi ataupun harapan rakyat negeri ini.
Bianglala Politik Indonesia
Kalau dipikir-dipikir kadang pusing sendiri melihat akrobatik politik di Indonesia. Muter seperti bianglala. Kembalinya ke orang-orang itu saja. Malahan bisa menjadi hiburan yang cukup menarik saat kondisi negeri ini tidak baik-baik. Beralihnya kepemimpinan dan kekuasaan hanya berputar di kalngan mereka ini karena sistem politik demokrasi menghendaki demikian. Kepentingan berkuasa dengan sumber daya dan sumber dana lebih diutamakan daripada mengurusi urusan rakyat secara berkesinambungan.
Politik demokrasi hanya menghadirkan sensasi dan janji. Selebihnya, sebagian janji itu ditetapi janji lainnya dijadikan bahan kampanye kembali agar terpilih. Edukasi politik yang benar pun terabaikan. Partisipasi rakyat untuk mengoreksi penguasa pun mendapatkan ancaman. Sistem politik demokrasi seolah menjadi bencana besar dari ketatanegaraan sebuah bangsa yang majemuk dengan taraf berfikir yang masih belum cukup.
Jika mencermati seksama dalam politik Islam, politik itu bukan hiburan atau kesenangan. Lebih dari itu sebagai upaya untuk mengurusi urusan rakyat keseluruhan dan menjaga keberlangsungan penerapan syariah Islam kaffah. Model politik seperti ini tidak diemban oleh manusia yang haus jabatan dan kekuasaan. Sebaliknya, akan diemban oleh manusia yang meiliki visi keberlanjutan dan keberlangsungan hingga kehidupan setelah dunia.
Alhasil, rakyat dalam tahun politik tidak boleh tertipu lagi. Rakyat harus pro aktif untuk menuntut perubahan yang sistemik dengan solusi yang komperhensif. Kalau sekedar ganti pemimpin maka tiada beda dengan orde sebelumnya. Sebaliknya yang dituntut ialah ganti sistem ganti pemimpin yang mau taat pada Allah dan Rasul-Nya. Bukan taat pada pemimpin partai atau oligarki yang membiayai biaya kampanyenya?
Posting Komentar untuk "Road to 2024 (37): Politainment dan Bianglala Politik Indonesia"