Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tidak Ada Oligarki dalam Sistem Khilafah


Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 

Untuk menilai suatu ideologi, sistem pemerintahan, maupun sebuah pemikiran maka kita harus melihat kepada konsepsinya. Bukan kepada prakteknya dalam sejarah. Peristiwa sejarah tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum. Justru peristiwa sejarah sebagai obyek yang harus dihukumi dengan konsepsi. Artinya peristiwa sejarah membantu kita dalam memahami bagaimana sebuah konsepsi atau tatanan kehidupan itu dipraktekan. Apakah sesuai dengan konsepsinya atau bahkan ada penyimpangan dari konsepsi yang seharusnya.

Sebagai contoh sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Saat ini dalam momen pemilu, sudah bisa diprediksi paslon capres-cawapres manakah yang bakal menang. Ini terlihat dari cawe-cawe politik di perhelatan pemilu 2024. Lantas, apakah dengan fenomena cawe-cawe politik tersebut, bisa dihukumi jika Indonesia tidak lagi menerapkan sistem Demokrasi? Jawabannya adalah Indonesia masih mengadopsi sistem Demokrasi, meskipun terdapat beberapa kesalahan maupun penyimpangan. Pasalnya pilar-pilar sistem Demokrasi masih establish dalam roda pemerintahan Indonesia.

Termasuk di dalam memahami sistem Oligarki. Terma oligarki ini apakah hanya sebatas suatu fenomena sejarah yang memungkinkan setiap sistem pemerintahan terkontaminasi dengannya? Ataukah terma oligarki ini sebagai sebuah struktur kekuasaan atau pemerintahan yang kompatibel dengan sistem pemerintahan dari ideologi tertentu?

Pengertian Oligarki

Oligarki berasal dari bahasa Yunani, Oligarkhia, yang artinya "aturan oleh yang sedikit". Selanjutnya Lidell dan Scot mendefinisikan oligarki adalah bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang dikarenakan kebangsawanan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, atau kontrol oleh perusahaan, agama, politik, atau militer.

Menurut sumber Britannica.com, oligarki itu akan efektif bisa diterapkan pada sistem pemerintahan monarki, proletariat dan atau aristokrasi. Bahkan Karl Mark dan Engels menyatakan bahwa sistem oligarki lekat dengan sejarah dari Ideologi Kapitalisme. Menurutnya para kapitalis dalam Kapitalisme menjadi kelas utama yang memiliki otoritas menghegemoni.

Dalam perjalanannya, sistem oligarki ini bersifat tirani, yang kemudian membentuk pola pemerintahan yang plutokrasi. Aristoteles menyebut oligarki pada aturan yang dibentuk oleh orang kaya. Di abad ke-20, Robert Michels menyatakan bahwa Demokrasi cenderung berubah menjadi oligarki.

Diakui oleh banyak ahli bahwa oligarki bukanlah sistem yang ideal dalam sebuah negara. Plato menyebut bahwa oligarki itu bentuk pemerosotan dari sistem aristokrasi (sistem pemerintahan yang digawangi cerdik pandai) berubah menjadi tirani bagi kepentingan tertentu.

Titi Anggraeni seorang pengamat Pemilu menyatakan bahwa sistem oligarki itu tumbuh subur dalam Demokrasi di Indonesia. Mitchels menyebut oligarki adalah hukum tangan besi dalam sistem demokrasi.

Sedangkan sistem oligarki dalam Ideologi Sosialis Komunis. Karl Mark sebagai ideolog Sosialis menggariskan adanya evolusi masyarakat menuju tanpa kelas. Maka wajar ia mengkritik Kapitalisme yang lekas dengan sistem oligarki yang dijalankan oleh para kapitalis sebagai struktur kekuasaan tertinggi. Akan tetapi tatkala di era Lenin, maka ia berpandangan bahwa untuk menciptakan masyarakat sosialis tanpa kelas harus dengan revolusi, bukan evolusi. Maka dalam praktek pemerintahan selanjutnya negara-negara komunis menerapkan sistem oligarki.

Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa terma oligarki merupakan sebuah struktur kekuasaan dan pemerintahan yang melekat dalam sistem pemerintahan monarki, proletariat, aristokrasi, otoritarianisme (diktator) maupun demokrasi. Artinya berbagai sistem pemerintahan tersebut berkelindan dengan ideologi Kapitalisme-Sekulerisme maupun Sosialisme-Komunisme. Sedangkan sistem Islam yakni Khilafah, merupakan sistem pemerintahan yang unik. Khilafah bukan otoritarian maupun demokrasi. Akan tetapi Khilafah memiliki corak yang khas berbeda dengan sistem pemerintahan apapun yang dikenal manusia.

Perbedaan Antara Sistem Khilafah dengan Sistem Oligarki

Karena sistem oligarki itu melekat dengan Demokrasi, maka kita akan membandingkan antara sistem Khilafah dengan sistem Demokrasi. Dengan demikian akan terlihat secara gamblang bahwa di dalam sistem Khilafah itu steril dari sistem oligarki. 

Pertama dari aspek kedaulatan. Kedaulatan merupakan kewenangan tertinggi dalam menentukan baik, buruk, terpuji maupun tercela atas perbuatan dan benda. Pendek kata, kedaulatan itu adalah sumber hukumnya.

Di dalam sistem Demokrasi menganut kedaulatan rakyat. Maka rakyat atau manusia menjadi sumber hukumnya. Jika kelompok yang berkuasa ingin mengganti undang-undang tentu suka-suka mereka. Maka terbitlah di antaranya UU Minerba, UU Liberalisasi migas, UU Omnibuslaw Ciptaker dan lainnya. Semua undang-undang ini bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Berbeda dengan sistem Khilafah. Kedaulatannya berada di hukum syara'. Hukum syara bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. Maka yang menetapkan hukum adalah Allah dan Rasul-Nya. Jadi tidak bisa diubah itu hukum syara yang menetapkan bahwa SDA adalah kepemilikan umum bagi seluruh rakyat. Tidak boleh SDA di privatisasi maupun diliberalisasi. Maka tidak akan ada di dalam sistem Khilafah UU yang meliberalisasi SDA.

Kedua, dari aspek suksesi kepemimpinan. Di dalam sistem Demokrasi, suksesi kepemimpinan itu melalui mekanisme pemilu 5 tahunan. Pengajuan paslon eksekutif capres-cawapres dan legislatif harus diusung oleh parpol tertentu. Sementara itu untuk pendaftaran paslon harus dengan mahar sekian juta hingga ratusan juta rupiah. Tentunya para paslon akan menggandeng cukong-cukong guna memberi biaya politik, termasuk biaya untuk kampanye. Maka tidak mengherankan bila sekitar 80 persen pendanaan paslon berasal dari cukong. Nanti para cukong ini akan mendapat imbal balik berupa kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan mereka. Di sinilah praktek sistem oligarki erat di dalam pemilu Demokrasi.

Berbeda dengan suksesi dalam sistem Khilafah. Suksesi kepemimpinan dalam Khilafah dibatasi maksimal 3 hari 3 malam. Tidak ada mahar politik dan kampanye yang saling menjatuhkan dan mengumbar janji manis. Mahkamah madhalim akan menentukan yang layak menjadi Khalifah berdasarkan syarat in'iqad (pengangkatan).Selanjutnya kaum muslimin memberikan baiat keta'atan kepada khalifah. Seorang Khalifah dibaiat untuk melaksanakan syariat Islam dalam pemerintahannya.

Ketiga, dari aspek legislasi perundang-undangan. Di dalam sistem Demokrasi terdapat pembagian kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Artinya kedaulatan rakyat telah dirampas oleh konsep trias politika tersebut. Alasannya kedaulatan rakyat akan bisa terwujud bila demokrasi itu diterapkan dalam negara kota atau polis. 

Walhasil dalam 3 lembaga kekuasaan tersebut penguasaan oligarki menguat. Hal ini terungkap dari pernyataan Bambang Pacul bahwa semua anggota DPR itu patuh dan ta'at terhadap ketua partainya. Dengan kata lain, legislasi undang-undang harus mendapat restu dari ketua partai. UU Perampasan Aset yang sempat mencuat lagi dalam RDP tentang skandal Rp 349 trilyun, itu terganjal oleh oligarki di partai politik pengusung anggota legislatif. Sedangkan lembaga yudikatif juga tidak steril dari para oligarki yang menjadi mafia.

Berbeda dengan sistem Khilafah. Legislasi undang-undang hanya menjadi hak khalifah. Hanya saja yang diadopsi khalifah adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan publik. Aspek aqidah dan ubudiyah diserahkan ke masing-masing mengikuti ulama madzhab yang mana. 

Jika khalifahnya bukan seorang mujtahid, maka ia bisa mengadopsi dari madzhab tertentu sebagai undang-undang. Contohnya Khalifah Harun ar-rasyid yang mengadopsi Kitab Al-Kharajnya Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyyah. Catatannya adalah khalifah mengadopsi dari madzhab tertentu bukan sebagai pandangan madzab, akan tetapi sebagai hukum syara yang diadopsi sebagai undang-undang negara.

Keempat, dari aspek struktur kelas sosial. Struktur kelas sosial di dalam Kapitalisme-Sekuler dan Demokrasi telah menempatkan para kapitalis di bagian atas dan kaum miskin di bagian bawah. Hal ini merujuk pada poster yang memuat piramida sosial Kapitalisme tahun 1911 diterbitkan oleh surat kabar industrial worker. 

Piramida sosial Kapitalisme secara berurutan dari atas ditempati kaum kaya, selanjutnya para penguasa, para rohaniawan, para tentara dan di bagian bawah kaum miskin. Karya poster tersebut merujuk pada sebuah karikatur anonim bertahun 1900 dari hierarki kekaisaran Rusia oleh Uni Sosialis Rusia.

Adapun di dalam sistem Khilafah, maka struktur kekuasaannya di bagian atas adalah Khalifah. Di bawahnya adalah para pejabat dan departemen kemaslahatan negara. Sedangkan rakyat bukanlah pihak yang berada di bawah. Akan tetapi struktur kekuasaan yang ada adalah dalam rangka melayani masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: 

سيد القوم خادمهم

Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. 

Dalam hadits yang lain Rasulullah Saw menegaskan bahwa seorang penguasa (Khalifah) adalah pengurus rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.

Kesalahan dalam Penerapan Islam

Berikutnya kita akan mengulas beberapa peristiwa sejarah di masa Khilafah yang merupakan kesalahan dalam penerapan Islam. Apakah beberapa kesalahan dalam penerapan Islam ini lantas menjadi indikasi adanya sistem oligarki di dalam tubuh kekhilafahan Islam? 

Berikutnya kita melihat beberapa contoh kesalahan penerapan Islam oleh Khilafah. Kita akan melakukan analisis secukupnya yang menunjukkan bahwa tidak ada sistem oligarki di rentang kekhilafahan yang panjang sekitar 13 abad.

A. Mengenai kesalahan dalam penerapan baiat untuk seorang Khalifah. 

Pasca khilafah Rasyidah, maka sebutan para sejarawan adalah kekhilafahan bani baik Umayyah, Abbasyiyah dan Utsmaniyah. Fenomena diawali dari penerapan baiat dari Muawiyah kepada Yazid putranya. Jadi Muawiyyah sudah memberikan kekuasaan setelahnya kepada Yazid. Mengomentari hal demikian, Abdurrahman bin Abu Bakr menyatakan bahwa hal itu sunnah Heraklius, bukan sunnah Rasulullah. 

Ini merupakan kesalahan dalam penerapan baiat, yakni dengan pola putra mahkota layaknya dalam kekaisaran atau kerajaan. Hanya saja yang harus diingat bahwa seorang tidak akan sah menjadi khalifah tanpa baiat dari kaum muslimin, meskipun ia sudah ditunjuk sebagai pengganti khalifah sebelumnya. Artinya metode mengangkat khalifah dengan baiat itu tetap dilaksanakan.

Dalam kondisi demikian boleh bagi seorang mujtahid meninggalkan pandangannya demi untuk menciptakan persatuan kaum muslimin dalam satu kekhilafahan. Oleh karena itu Yazid masih mendapatkan baiat dari kaum muslimin. Muawiyyah sendiri memahami teknis pemberian baiat kepada seorang Khalifah adalah melalui pemberian atau pewarisan. 

Persoalannya akan berbeda bila akad baiat dihilangkan sama sekali. Tentu sistem Khilafah telah berubah menjadi sistem Monarchi atau kekaisaran. Dan di dalam sistem monarchi menjadi tempat yang paling potensial berkembangnya oligarki.

B. Kekuasaan militer yang mendominasi

Di masa kemunduran Khilafah Utsmaniyah, kekuasaan pasukan elit inkisyariyah mampu menaikkan dan memecat seorang Khalifah. Tentu saja mereka menjadi khalifah-khalifah yang lemah. Beberapa khalifah yang lemah tersebut adalah Sultan Mushthofa-1, Sultan Utsman-2, Sultan Murad-IV dan lainnya.

Akan tetapi jangan salah memahami bahwa inkisyariyyah ini menjadi oligarki di masa itu. Yang terjadi sebenarnya adalah adanya intervensi asing melalui lembaga kemiliteran Utsmaniy. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhanniy dalam Syakhshiyah ke-2 bahwa kaum militer itu adalah mereka yang ahli dalam bidang tertentu yakni terkait kemiliteran. Oleh karena itu pertimbangan-pertimbangannya adalah pertimbangan militer bukan pertimbangan politik kenegaraan. Yang terjadi di masa kemunduran Utsmaniy, elit militer bisa berhubungan dengan duta-duta asing, dan konsulat-konsulat. Akhirnya mereka terbawa ke dalam ranah politik dan manuvernya yang digunakan tangan-tangan asing merongrong pemerintahan Islam.

Hanya saja militer tidak bisa menaikkan atau memecat seorang khalifah tanpa ada legalitas dari syaikhul Islam. Jadi tetap fenomena demikian tidak merubah sistem Khilafah menjadi oligarki.

Apalagi dalam masa Sultan Murad IV, beliau melakukan langkah penumpasan terhadap para pembangkang dari kalangan tentara. Beliau menghukum pancung para serigala di Istanbul dan di seluruh pelosok negeri. Beliau membuat jaringan mata-mata yang kuat terhadap para pembangkang tersebut. 

Bahkan di masa Sultan Ibrahim bin Ahmad yang merupakan salah satu khalifah lemah, beliau mampu menghancurkan dominasi Venezia di wilayah timur Utsmaniy. Beliau melakukannya setelah melakukan perbaikan anggaran militer dan angkatan laut. Hal ini kelanjutan dari langkah saudaranya, Sultan Murad IV yang berhasil memperbaiki kelompok militer inkisyariyyun.

C. Partai Politik yang Ditunggangi Yahudi di masa Sultan Abdul Hamid II. 

Yahudi internasional ingin menghancurkan kekuasaan Sultan Abdul Hamid II yang dianggap merintangi ambisinya menduduki Palestina. Yahudi ini bekerjasama dengan Partai Persatuan Pembangunan. Hanya saja mereka sadar bila seorang Khalifah itu mendapat loyalitas dari kaum muslimin. Maka dibuatlah rakayasa suatu peristiwa yakni Peristiwa 31 Maret yang membuat guncang Istanbul. Bahkan anggota Partai Persatuan Pembangunan ada yang meninggal. Maka mereka menuntut Sultan Abdul Hamid II untuk mundur. Mereka menuduh beliau sebagai pihak yang merencanakan terjadinya peristiwa 31 Maret. Akhirnya Mufti Islam, Muhammad Zhiyauddin mengeluarkan surat pencopotan Sultan Abdul Hamid II. 

Ini salah satu contoh bentuk lemahnya penerapan Islam yang mengatur partai politik di dunia Islam. Akibatnya serangan pemikiran dari Barat mampu mempengaruhi partai politik yang selanjutnya memberontak terhadap pemerintahan Islam.

D. Adanya pembantaian oleh Abbas al-Shaffah terhadap kalangan Umawi. 

Pergantian dari Khilafah Umayyah menuju Abbasyiyah ditandai dengan Abbas al-Saffah yang membantai keluarga Umayyah. Hal ini dipengaruhi oleh perdebatan kalam tentang siapa yang lebih berhak menjadi khalifah. Quraisy atau non Quraisy. Yang Quraisy, apakah ahlul bait lebih berhak atau yang lain? 

Maka Abbas Al-Saffah merasa lebih berhak karena mereka keturunan ahlul bait Rasulullah, dari jalur Abbas bin Abdul Muthalib. Sedangkan keluarga Umayyah hanya berasal dari trah Quraisy. Jadi kesimpulan kalamnya adalah jika ada khalifah al-fadhil, maka itu yang lebih berhak menduduki kekhilafahan.

Istilah fiqihnya, Abbas al-Saffah ini merupakan as-Sulthan al-Mutaghallib. Ia bisa mendapat legalitas untuk berkuasa bila ia mampu berjalan dengan damai di wilayah pendudukannya. Begitu pula ia mampu meyakinkan kaum muslimin bahwa di dalam pemerintahannya akan menjadi lebih baik dalam penerapan Islam dan menata kehidupan rakyat. Tentu saja tatkala rakyat yakin, maka assulthan al-mutaghallib ini berhak mendapatkan baiat dari kaum muslimin.

Jadi yang harus dipahami adalah Khilafah itu Daulah Basyariyah (negara yang dijalankan manusia). Tatkala manusia menjalankan pemerintahan Islam tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Hanya yang patut dicatat adanya kekurangan dan kesalahan dalam penerapan Islam itu tidak mengubah sistem Khilafah. Penggunaan lafadz mulkan adhon (kekuasaan yang menggigit) oleh hadits Rasul Saw itu menunjukkan bahwa adanya beberapa kesalahan dan kejelekan dalam penerapan hukum Islam yang terjadi dalam rentang Khilafah Umayyah hingga Utsmaniyah. Sistem Khilafah masih eksis, karena ke-empat pilar khilafah masih tegak dan dijalankan. Artinya tatkala keempat pilar Khilafah masih tegak berdiri maka sistem oligarki tidak ada dan tidak pernah bisa masuk ke dalam sistem Khilafah.

Meskipun demikian, kita jangan menilai Khilafah dengan adanya kesalahan dalam penerapan Islam tersebut. Justru adalah sebuah kesalahan intelektual yang fatal adalah mengambil kesimpulan akan adanya oligarki di dalam sistem Khilafah dengan mencomot beberapa kelemahan penerapan Islam yang sejatinya tidak mengubah menjadi oligarki, dengan menghilang berbagai prestasi gemilang kekhilafahan Islam dalam rentang sejarah yang paling panjang yakni 13 abad dengan berbagai corak keberagaman wilayahnya yang dinamis. Tentu prestasi kepemimpinan Khilafah tidak akan mampu ditandingi oleh sistem pemerintahan apapun yang pernah dikenal oleh manusia. []

Posting Komentar untuk "Tidak Ada Oligarki dalam Sistem Khilafah"

close