Utak Atik Hukum Negara Demi Memuluskan Politik Dinasti Penguasa


Oleh: Citra Dewi Astuti, S.E. (Aktivis Muslimah Brebes)

Mahkamah Agung (MA) merevisi aturan syarat minimal usia calon kepala daerah melalui uji materi yang diajukan oleh Ahmad Ridha Sabana selaku Ketua Umum Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) bersama rekan lainnya.

Sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun saat pendaftaran, kemudian direvisi menjadi minimal usia 30 tahun pada saat dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Revisi aturan hukum negara ini tertuang dalam putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024 yang diputuskan oleh Majlis Hakim pada Rabu, 29 Mei 2024 yaitu terhitung 3 hari saja putusan itu dikeluarkan sejak perkara ini didistribusikan pada tanggal 27 Mei 2024. 

Jalan Mulus Politik Dinasti

Putusan MA yang dianggap kilat ini membuat publik menaruh curiga alih-alih untuk mengakomodir jalan politik anak muda justru adanya putusan MA ini upaya memuluskan jalan politik dinasti penguasa. Seperti diketahui putra bungsu Presiden Jokowi Kaesang Pangarep digadang-gadang akan maju sebagai bakal calon wakil gubernur Jakarta dalam kontestasi Pilkada 2024 yang terjadwal akan diselenggarakan bulan Agustus mendatang.

Kaesang yang baru akan berusia 30 tahun pada bulan Desember mendatang dan terganjal aturan hukum minimal usia 30 tahun saat pendaftaran tentu seperti diberi karpet merah dengan adanya revisi MA ini. Pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih dijadwalkan akan diselenggarakan pada bulan Februari 2025, artinya jika Kaesang terpilih maka saat pelantikan gubernur dan wakil gubernur terpilih usianya sudah genap 30 tahun dan memenuhi syarat yang ditentukan dalam putusan MA yang baru diterbitkan itu. Kecurigaan publik ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh pengamat politik Janus TH Siahaan dalam sebuah dialog "Saya cukup yakin mengatakan bahwa tujuan nya memang untuk meloloskan Kaesang. Sementara narasi politik anak muda itu hanya sweetener saja, tidak lebih" ungkapnya yang dikutip dari laman Kompas.com (26/5/2024). 

Putusan MA atas perubahan usia minimal calon kepala daerah ini juga sontak mengingatkan publik atas putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai perubahan batas usia minimal Capres dan Cawapres pada ajang Pemilihan Presiden 2024 kemarin. 

Sebelum Kaesang Pangarep, sudah ada putra sulung Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka yang lebih dulu menuai polemik atas pencalonannya pada kontestasi Pilpres 2024 dengan pola yang persis sama. Dimana awalnya berlaku aturan kandidat calon presiden dan wakil presiden minimal usia 40 tahun, lalu dengan adanya gugatan uji materi dan disetujui oleh MK melalui hakim sidang yang masih mempunyai status hubungan keluarga dengan presiden Jokowi. Dari putusan MK itulah yang akhirnya meloloskan Gibran sebagai kontestan Cawapres yang pada saat itu baru berusia 36 tahun dan berakhir menang dalam Pilpres. 

Indonesian Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ikut bersuara atas polemik putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024 "Dengan demikian, seperti putusan MK No. 90 kemarin yang menjadikan Gibran dapat berkontestasi di Pemilu 2024, putusan ini juga sama-sama memberikan karpet merah untuk semakin meluasnya tentakel dinasti Presiden Jokowi melalui kandidasi Kaesang Pangarep" tegas ICW dan PSHK seperti dikutip dari laman rumahpemilu.org (1/6/2024). 

Utak-Atik Hukum Dalam Politik Demokrasi: Keniscayaan

Putusan MA dan putusan MK yang diduga kuat unsur kepentingan rezim bukanlah sesuatu yang baru dalam politik demokrasi. Dalam negera demokrasi hukum dibuat dan ditentukan oleh manusia, yang kemudian mudah berubah sesuai dengan kondisi dan situasinya. Apalagi fakta bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang mewadahi idiologi kapitalisme, sehingga hukum yang dibuat juga berdasarkan asas manfaat orang yang membuatnya. Menjadi hal yang wajar orang-orang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan tujuannya termasuk mengutak-atik hukum. 

Nilai luhur suatu hukum yang seharusnya dijunjung tinggi justru dipaksa patuh pada kepentingan dinasti politik yang melibatkan penguasa, parlemen, juga peradilan. sehingga hasil kepuuuutusan nya pun bisa dipastikan akan mengikuti kepentingan penguasa. 

Sistem Islam Solusi Hakiki

Berbeda dengan demokrasi dimana kedaulatan di tangan manusia, sehingga manusia bisa membuat aturan sesuai dengan preeferensinya masing-masing dan menjadi suatu keniscayaan dirubah sesuai dengan kondisinya dalam hal apapun. Dalam sistem Islam yang landasannya adalah aqidah, kedaulatan berada pada hukum syara', dimana hukum syara' ini yang menentukannya bukanlah manusia atau makhluk lainnya ttapi yang membuatnya adalah zat yang sama dengan yang menciptakan manusia dan seluruh makhluknya Dialah Allah SWT. Dimana aturan yang diberikanNya sebagai bentuk penjagaan atas seluuruh makhlukNya dan sifatnya tetap, berlaku bagi siapapun dan dimanapun. 

Dalam Islam, seorang pemimpin diperintahkan untuk menggunakan kekuasaannya untuk kemaslahatannn Islam dan kaum muslimin, sama sekali tidak diperbolehkan memegang kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan sabda Rosulullah SAW "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin" (HR Bukhari). 

Dalam mekanisme pemilihan pemimpin pun Islam mempunyai sistem yang ketat. Minimal ada 7 syarat yang menjadiriteria wajib seorang kepala pemerintahan. Dan pemimpin yang terbukti tidak amanah bisa diberhentikan oleh khalifah sewaktu-waktu. Masyarakat juga mempunyai hak menyampaikan aduan jika melihat penguasa yang berlaku dzalim atau meyelisihi hukum syara'. Sehingga akan didapati aturan-aturan hukum yang berlaku adalah hukum yang berdsarkan syariat yang itu tidak ada cel untuk diutak-atik menurut selera peguasa sebagaimana yang terjadi pada negeri demokrasi kapitalistik. Wallahua'lam bisshowab. []

Posting Komentar untuk "Utak Atik Hukum Negara Demi Memuluskan Politik Dinasti Penguasa"