Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyalahgunaan Kuota Haji: Cermin Krisis Moral di Bawah Kapitalisme

Ilustrasi

Oleh: Selvi Sri Wahyuni S. Pd. I (Mahasiswi Pascasarjana UIKA Bogor) 

Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini kembali diwarnai dengan isu penyalahgunaan kuota haji, terutama dalam distribusi kuota tambahan untuk haji khusus. Kabar ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, khususnya para calon jamaah haji yang merindukan momen spiritual di Tanah Suci. Berbagai indikasi menunjukkan adanya pelanggaran dalam pengelolaan kuota haji, yang seharusnya dikelola dengan penuh integritas dan tanggung jawab. Namun, di bawah sistem kapitalisme, penyelenggaraan ibadah pun tak lepas dari potensi penyalahgunaan dan korupsi, menjadikan kuota haji sebagai ladang untuk mengambil keuntungan duniawi.

Jamaah haji adalah tamu Allah, yang seharusnya dilayani dengan penuh penghormatan dan kenyamanan. Namun, dalam praktiknya, berbagai masalah seperti kesalahan distribusi kuota, hingga tudingan penyalahgunaan, mencoreng momen suci ini. Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan: Apakah benar kuota haji telah disalahgunakan? Meskipun pejabat terkait berusaha membantah tuduhan ini, namun keberadaan indikasi-indikasi tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dalam sistem kapitalisme, penyelenggaraan ibadah seringkali diwarnai dengan kepentingan materialistik. Birokrasi yang panjang, permainan kuota, dan potensi korupsi menjadi hal yang tak terhindarkan ketika orientasi hidup sebatas duniawi. Penyelenggaraan ibadah yang seharusnya murni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, justru dijadikan alat untuk meraih keuntungan pribadi. Padahal, seharusnya penyelenggaraan ibadah haji diatur dengan penuh tanggung jawab, memastikan kenyamanan dan kemudahan bagi setiap jamaah dalam melaksanakan rukun Islam kelima ini.

Jika kita menengok ke masa lalu, pada masa kejayaan Khilafah, penyelenggaraan ibadah haji dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kemudahan bagi jamaah. Khilafah tidak hanya mengelola haji dengan amanah, tetapi juga memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memudahkan para jamaah. Misalnya, pembangunan rel kereta api yang menghubungkan wilayah-wilayah Islam, penyediaan rumah singgah bagi jamaah yang kehabisan bekal, dan berbagai fasilitas lainnya yang menunjukkan bagaimana negara mengutamakan pelayanan kepada tamu Allah.

Dalam sistem Islam, pejabat dan petugas yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji adalah individu-individu yang amanah, hasil dari sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam. Mereka menjalankan tugasnya bukan hanya untuk meraih keuntungan dunia, tetapi sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Kesadaran bahwa hidup ini sementara dan akan ada kehidupan setelah mati, membuat mereka menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Krisis moral yang kita saksikan hari ini, dengan berbagai indikasi penyalahgunaan kuota haji, adalah cermin dari sistem yang berorientasi duniawi. Ketika hidup dijalani seolah tidak ada kematian, maka yang terjadi adalah perlombaan untuk meraih keuntungan materi, meskipun dengan mengorbankan nilai-nilai spiritual dan moralitas. Kembali kepada Islam dan menerapkan syariat secara kaffah adalah solusi untuk mengatasi masalah ini. Dengan penerapan Islam yang menyeluruh, kita dapat mewujudkan penyelenggaraan ibadah yang sesuai dengan tuntunan agama, penuh integritas, dan amanah, sehingga jamaah haji dapat melaksanakan ibadah dengan khusyuk dan nyaman. []

Posting Komentar untuk "Penyalahgunaan Kuota Haji: Cermin Krisis Moral di Bawah Kapitalisme"

close