Listrik Belum Merata, Kemaslahatan Rakyat Diabaikan
Oleh: Sri Mulyati (Komunitas Muslimah Coblong Bandung)
Hingga triwulan I tahun 2024, masih terdapat 112 desa/kelurahan di Papua yang belum teraliri listrik. Jumlah ini memang mengalami penurunan dari akhir tahun 2023 yang mencapai 140 desa/kelurahan, tetapi persoalan ini tetap menjadi tantangan besar dalam pemerataan akses listrik di wilayah tersebut. (Tirto.id, 10/06/2024)
Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, menyebutkan bahwa sekitar 3.000 desa di Indonesia belum memiliki akses listrik. Dampaknya sangat signifikan terhadap sektor pendidikan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat, yang semuanya memerlukan infrastruktur dasar seperti listrik untuk berkembang. (kompas.com, 02/12/2024)
Sementara itu, sebanyak 22.000 kepala keluarga di Jawa Barat masih belum mendapatkan aliran listrik. Dalam kampanyenya, calon gubernur Dedi Mulyadi berjanji akan menyelesaikan persoalan ini dalam dua tahun jika terpilih, sebagai bagian dari upaya pemerataan akses listrik di provinsi tersebut. (Beritasatu.com, 23/11/2024)
Listrik Dalam Sistem Demokrasi
Listrik merupakan kebutuhan dasar yang sangat vital bagi kehidupan manusia modern. Tidak hanya mendukung aktivitas sehari-hari, listrik juga menjadi penopang utama sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Namun, fakta bahwa masih ada ribuan desa di Indonesia yang belum teraliri listrik menunjukkan adanya masalah serius dalam tata kelola kebutuhan dasar ini.
Liberalisasi di sektor ketenagalistrikan menjadi salah satu penyebab utama. Dengan pendekatan yang berorientasi pada keuntungan, distribusi listrik menjadi tidak merata, terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Penyediaan listrik di wilayah ini dianggap tidak menguntungkan karena membutuhkan biaya besar untuk membangun infrastruktur, sehingga tidak menjadi prioritas.
Persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang mendasari tata kelola listrik di Indonesia. Sistem ini memosisikan listrik sebagai komoditas, bukan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara. Akibatnya, pengelolaan listrik sering diserahkan kepada korporasi yang tentu saja fokus pada profit.
Dalam sistem kapitalisme, negara cenderung berperan sebagai fasilitator bagi korporasi, bukan pelindung kebutuhan rakyat. Hal ini terlihat jelas dalam praktik di sektor ketenagalistrikan, di mana korporasi mengendalikan sumber daya dan layanan listrik. Akibatnya, rakyat dihadapkan pada tarif listrik yang mahal dan sulit diakses, terutama di daerah terpencil.
Ironisnya, negara justru memanfaatkan situasi ini dengan memberlakukan berbagai pajak dan tarif tambahan yang membebani masyarakat. Hal ini menunjukkan bagaimana sistem kapitalisme tidak hanya gagal menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat, tetapi juga menjadi alat untuk memalak rakyat demi keuntungan segelintir pihak.
Sistem ini juga gagal memperhatikan kebutuhan daerah-daerah yang secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan. Papua, misalnya, meskipun kaya akan sumber daya alam, tetap mengalami ketertinggalan dalam hal akses listrik karena tingginya biaya distribusi yang tidak sebanding dengan potensi keuntungan bagi korporasi.
Hal ini menunjukkan bahwa akar masalahnya adalah sistem yang lebih mementingkan keuntungan daripada kesejahteraan rakyat. Listrik, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara, justru menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar.
Pandangan Islam Mengenai Listrik
Dalam pandangan Islam, listrik adalah salah satu hajat hidup yang masuk kategori milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Rasulullah ﷺ bersabda:
”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya vital yang digunakan bersama, seperti air dan energi (diwakili oleh api), tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi demi keuntungan. Sebaliknya, Islam mewajibkan negara untuk mengelola sumber daya ini dan memastikan hasilnya kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan yang murah atau gratis.
Tanggung Jawab Negara
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan listrik kepada seluruh rakyatnya, tanpa diskriminasi. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan listrik kepada swasta atau pihak asing, karena hal ini berpotensi menimbulkan ketimpangan dan eksploitasi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.”(QS. An-Nisa: 105)
Ayat ini menegaskan bahwa pengelolaan kebutuhan rakyat harus dilakukan sesuai syariat Islam, dengan tujuan menegakkan keadilan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Solusi Islam atas masalah listrik tidak hanya berfokus pada penyediaan layanan, tetapi juga pada pengelolaan yang adil dan bertanggung jawab. Dengan menjadikan listrik sebagai milik umum yang dikelola oleh negara, Islam mampu memastikan bahwa setiap individu dapat menikmati layanan listrik dengan mudah, murah, dan merata. Sistem ini berbeda secara fundamental dari sistem kapitalisme, karena menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. []
Posting Komentar untuk "Listrik Belum Merata, Kemaslahatan Rakyat Diabaikan"