Pengamat Politik Ustadz Munzir Abdullah Kritik Keras Pernyataan Menteri Luar Negeri Prancis di Damaskus

 



Beirut, Visi Muslim— Ustadz Munzir Abdullah, pengamat politik terkemuka dari Lebanon, melontarkan kritik tajam terhadap pernyataan Menteri Luar Negeri Prancis melalui unggahannya di laman X (sebelumnya Twitter) pada Jumat, 3 Januari 2025. Kritik ini dipicu oleh pernyataan pejabat Prancis tersebut saat kunjungannya ke Damaskus, yang menyatakan kesiapan Prancis membantu menyusun konstitusi Suriah sekaligus menyerukan perlindungan bagi minoritas.

Dalam unggahannya, Munzir Abdullah menyebut langkah tersebut sebagai bentuk campur tangan asing yang lancang dan tidak pantas. "Menyusun konstitusi menyentuh inti identitas suatu bangsa; ini bukan sekadar urusan teknis seperti pembangunan infrastruktur atau pertanian," tulis Munzir. Ia menilai bahwa isu konstitusi adalah urusan domestik yang tidak boleh diintervensi pihak luar.

Munzir juga mengkritik sikap para penguasa Damaskus yang dianggapnya kurang tegas dalam mempertahankan identitas bangsa dan agama. Menurutnya, kelemahan inilah yang memungkinkan negara-negara seperti Prancis ikut campur dalam urusan internal Suriah. "Seandainya penguasa Damaskus menunjukkan pendirian yang jelas, pejabat asing tidak akan berani mencampuri urusan kita yang paling mendasar," tegasnya.

Lebih jauh, Munzir Abdullah menyoroti ironi dalam seruan Prancis untuk melindungi minoritas. Ia mempertanyakan rekam jejak negara itu dalam menangani komunitas Muslim di dalam negerinya sendiri. "Berapa banyak masjid dan sekolah Islam yang telah Anda tutup? Bagaimana dengan undang-undang sekularisme yang memaksa komunitas Islam untuk meninggalkan nilai-nilai mereka?" tanyanya, sembari menyebut kebijakan Prancis sebagai bentuk diskriminasi sistematis.

Munzir juga menyinggung penghinaan berulang terhadap Nabi Muhammad yang terjadi di Prancis. Ia menyebut penghinaan ini sebagai bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh pemerintah Prancis, termasuk oleh presidennya, yang pernah menyatakan bahwa Islam sedang dalam krisis. Hal ini, menurut Munzir, membuktikan standar ganda dalam sikap Prancis terhadap hak asasi manusia dan kebebasan beragama.

Dalam pandangannya, Islam tidak mengenal konsep mayoritas dan minoritas seperti dalam demokrasi Barat. Munzir menegaskan bahwa dalam Syariah, keadilan berlaku untuk semua tanpa memandang latar belakang agama. "Mayoritas tidak menindas minoritas dalam Islam. Sebaliknya, hukum Syariah melindungi hak-hak semua orang tanpa memaksa mereka meninggalkan keyakinan mereka," paparnya.

Munzir juga mengecam sistem sekularisme Prancis yang disebutnya merusak nilai-nilai kemanusiaan. Ia menuding sekularisme sebagai alat untuk menindas dan menghapus identitas religius, khususnya di kalangan komunitas Muslim. Menurutnya, sistem ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan.

Dalam unggahan tersebut, Munzir Abdullah juga mengkritik keras pihak-pihak di Suriah yang menyambut baik kedatangan Menteri Luar Negeri Prancis. Ia menyebut tindakan itu sebagai bentuk politik kotor yang mengabaikan nilai-nilai agama dan kepentingan umat Islam. "Politik menjadi kotor ketika menyimpang dari petunjuk Allah dan mengabaikan kesucian agama," tulisnya.

Sebagai penutup, Munzir menyerukan pentingnya kepemimpinan yang berpihak pada nilai-nilai Islam dan menjaga kedaulatan umat. Ia berharap umat Muslim mendapatkan pemimpin yang bersekutu dengan Allah, Rasul-Nya, dan umat beriman, serta menegakkan hukum ilahi yang adil. "Hanya dengan itu, umat ini akan bersatu dan melindungi dirinya dari intervensi asing," ujarnya.

Unggahan Munzir Abdullah ini menuai reaksi beragam di media sosial. Banyak yang mendukung pandangannya, sementara pihak lain menilai kritiknya terlalu keras. Namun, unggahan ini tidak hanya mencerminkan ketegangan antara dunia Islam dan Barat, tetapi juga menggugah kesadaran tentang pentingnya menjaga kedaulatan dan identitas dalam menghadapi campur tangan asing. [] Gesang Ginanjar Raharjo 

Posting Komentar untuk "Pengamat Politik Ustadz Munzir Abdullah Kritik Keras Pernyataan Menteri Luar Negeri Prancis di Damaskus"