Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mempertanyakan Klaim “Harga Mati” bagi Nation-State


Oleh : Prihandono Wibowo
(Pengajar FISIP UPN Veteran Jawa Timur)

Fenomena sosial-politik di Indonesia pada akhir-akhir ini diramaikan dengan kontroversi pertarungan wacana antara pendukung pendirian khilafah dan pendukung eksistensi nation-state. Terdapat tuduhan bahwa pendukung pendirian khilafah adalah kelompok makar yang ingin memecah persatuan bangsa. Pertarungan wacana bahkan berlanjut di lapangan dengan aksi pencopotan spanduk-spanduk yang berisi dukungan terhadap khilafah dan ancaman pembubaran beberapa kegiatan milik ormas pendukung pendirian khilafah. Kelompok pendukung eksistensi nation-state berargumen bahwa negara bangsa adalah “harga mati” yang tidak dapat dirubah bentuknya dengan bentuk apapun. Karena itu, ketika ada pihak lain yang merindukan khilafah, maka pendukung eksistensi nation-state tersebut mendorong pembubaran dan pelarangan komunitas pendukung pendirian khilafah. Jika diamati, pendukung eksistensi nation-state memiliki dasar argumen yang sangat lemah.

Kelemahan Argumen Pendukung Eksistensi Nation-State

Terdapat kelemahan mendasar dari argumen pendukung eksistensi nation-state yang menyatakan bahwa nation-state adalah “harga mati” Berikut penjabaranya.  

Nation-State adalah Bentuk Hegemoni Pemikiran Peradaban Barat

Pertama, dari perspektif sejarah peradaban manusia, nation-state adalah fenomena relatif baru yang berakar pada era Pencerahan di Eropa. Dalam khazanah ilmu politik, didapatkan bahwa cikal bakal nation-state baru muncul pada saat perjanjian Westphalia tahun 1648. Perjanjian itu untuk mengatasi perang antar agama di Eropa yang berlarut-larut. Maka pasca perjanjian tersebut, Eropa mulai mengenal konsep kedaulatan teritori dan pembagian perbatasan wilayah secara tegas, dimana setiap entitas politik Eropa yang berkuasa di satu wilayah tidak boleh mengintervensi di wilayah politik lainnya. Selain itu, perjanjian Westphalia menandai awal mula melunturnya hegemoni golongan agama tertentu dalam pengurusan urusan publik. Masalah agama diserahkan kepada masing-masing penguasa di wilayahnya masing-masing. Hal ini merupakan awal cikal bakal rangkaian proses pembentukan nation-state dan sekulerisme di era modern. Konsep ini seterusnya berkembang hingga terbentuknya nation-state di era modern. Jika dihitung sejak Westphalia, maka umur sistem nation-state baru berumur kurang lebih sekitar 400 tahun. Artinya, nation-state hanyalah salah satu fase dalam peradaban manusia. Nation-state adalah hasil konstruksi pemikiran yang relatif baru, berakar pada trend Pencerahan di Eropa. Karena itu, Nation-state adalah hasil konstruksi pikiran manusia yang bersifat sangat Barat sentris, bukan sebuah sistem yang “given” dan mutlak untuk dijalankan oleh manusia. Argumen yang menyatakan  nation-state adalah “harga mati” adalah argumen dari pihak yang telah terjebak dalam hegemoni paradigma pemikiran Barat sentris. Sebaliknya, pada era politik kontemporer, terdapat kesadaran sehingga pemikiran politik non-Barat semakin berkembang. Sehingga hal yang wajar jika terdapat beragam ide alternatif untuk menggantikan nation-state dengan konsep lainnya. 

Alternatif terhadap Pola Pikir Barat

Karena nation-state adalah hasil hegemoni pemikiran Barat sentris, maka wajar jika komunitas-komunitas non-Barat menginginkan berdirinya sebuah institusi suprastruktur alternatif yang bersifat non-Barat sentris. Terlebih proses modernisasi dan Westernisasi yang sempat menghegemoni masyarakat non-Barat selama beberapa dekade, telah mencerabut akar identitas dari komunitas-komunitas non-Barat. Betapa banyak generasi yang melupakan akar identitasnya, dan mengadopsi identitas ke-Barat-an. Rasionalisme, empirisme, individualisme, materialisme, kapitalisme, kebebasan individual, demokrasi pluralisme, pragmatisme, sekulerisme, nasionalisme adalah sebagian nilai-nilai yang ditanamkan peradaban Barat kepada komunitas non-Barat. Komunitas non-Barat menerimanya dalam dua bentuk, pertama menerima secara ekstrim. lainnya, menerima sebagian dengan mengkompromikan nilai peradaban Barat dengan identitas aslinya, namun semua tetap ditempatkan dalam hegemoni kerangka peradaban Barat. Akibatnya, identitas non-Barat harus “tunduk” kepada nilai-nilai peradaban barat. Sedangkan dari sisi politis, pengalaman kolonialisme dan imperialisme, baik dalam bentuknya yang klasik maupun dalam bentuknya yang baru, telah telah membuat kekecewaan terhadap hegemoni peradaban Barat. 

Karena itu, hal yang wajar jika pada era kontemporer, komunitas-komunitas non-Barat kemudian mengalami kesadaran, bahwa mereka tidak harus hidup dalam hegemoni pola pikir Barat sentris. Mereka sadar akan identitas akarnya yang asli dan berusaha merekonstruksi identitas tersebut dalam konteks kekinian serta berupaya mewujudkan peradabannnya sendiri berdasar idealisme identitas tersebut. Mereka sadar bahwa peradaban Barat bukan satu-satunya peradaban manusia yang dengan caranya dan pola pikirnya semua orang harus hidup di dalamnya.  Komunitas-komunitas non-Barat menemukan kembali khazanah kekayaan peradabannya yang telah lama terkubur dalam hegemoni peradaban Barat. Mereka berupaya menggali kembali identitas dan peradabannya untuk menjawab permasalahan aktual yang gagal dijawab oleh peradaban Barat. Hal ini dapat ditemukan dalam perjuangan komunitas yang menginginkan berdirinya kembali Khilafah Islam. Mereka berjuang setelah sebelumnya menemukan dunia Islam yang didominasi dengan kapitalisme, sekulerisme, dan ter-Barat-kan.    

Begitu pula nation-state. konsep ini tidak pernah dikenal sebelumnya dalam dunia Islam. Hal ini karena selama 1400 tahun, dunia Islam hanya mengenal kepemimpinan tunggal dalam naungan khilafah. Ulama klasik Islam dari beragam madzhab dan aliran bersepakat mengenai kewajiban khilafah. Datangnya Barat pada masa kolonialisme klasik telah memperkenalkan konsep nation-state kepada dunia Islam. Dalam kasus pemberontakan dari suku-suku Arab terhadap khilafah Ustmani, menjadi contoh bagaimana Barat, memprovokasi suku-suku Arab untuk melawan dan menyatakan berlepas diri dari kesatuan khilafah. Setelah pemberontakan berhasil melemahkan kekuatan khilafah, Barat memberi kompensasi atas pemberontakan suku-suku tersebut dengan mendukung pembentukan nation-state di Jazirah Arab yang terbebas dari Khilafah Ustmani, yaitu Arab Saudi dan Irak. 

Pasca keruntuhan khilafah, banyak gerakan Islam yang ingin merestorasi khilafah, namun semua upaya ini gagal karena kuatnya cengkraman kolonialisme Barat di dunia Islam. Tidak hanya secara militer, namun Barat menanamkan hegemoninya dalam bentuk pola pikir, beragam pemikiran politik, dan bervariasi ideologi politik. Akibatnya, pada masa dekolonialisasi, satu-satunya jalan yang ditempuh oleh dunia Islam untuk melepaskan diri dari jerat kolonialisme Barat bukan kembali kepada khilafah, melainkan justru terjebak pada hegemoni pola pikir Barat, yaitu kemeredekaan dalam bentuk nation-state.. Peradaban Barat berhasil mengalihkan perhatian generasi muslim dari khilafah Islam kepada nation-state.

Hal yang wajar jika pada saat ini dalam Dunia Islam berkembang gerakan untuk mendekonstruksi konsep nation-state yang sarat hegemoni pola pikir politik Barat. Gerakan tersebut kemudian beralih kepada identitas aslinya untuk merestorasi idealisme kekhilafahan, yang pada praktikinya sudah pernah diterapkan selama lebih dari satu milenium. Terlebih gerakan pendukung restorasi khilafah memiliki landasan teologis dan hukum keagamaan yang kuat mengenai wajibnya pendirian khilafah, didukung fakta romantisme historis “golden age” masa khilafah, dan kepopuleran nubuat dalam berbagai hadits akan kembali berdirinya khilafah di akhir zaman. Akibatnya, gerakan pendukung restorasi khilafah menjadi semakin popular, menguat, dan optimis. Sebaliknya, nation-state tidak memiliki landasan keagamaan yang kuat, dan dipandang sebagai perwujudan  hegemoni peradaban Barat.           

Irelevansi Nation-State

Ketiga, meski masih memiliki kekuasaan besar hingga saat ini, namun fungsi nation-state semakin mendapatkan tantangan yang besar. Adanya beragam permasalahan global kontemporer, menyebabkan bahwa nation-state kehilangan peran vitalnya sebagai satu-satunya aktor dalam kancah politik global. Regionalisme menjadi salah satu fenomena yang menandakan telah terjadinya transformasi dari eksistensi dan peran tradisional nation-state. Uni Eropa menjadi contoh nyata, terpangkasnya sebagian kewenangan negara-negara anggotanya untuk kepentingan institusi regional Uni Eropa.

Perkembangan yang pesat dari pendukung khilafah juga menandakan bahwa semakin banyak komunitas yang menginginkan menggantikan nation-state yang Barat sentris dengan alternatif lainnya. Di Indonesia, pada awalnya suara mengenai restorasi khilafah sangat minor. Hanya segelintir orang yang bergelut dalam wacana khilafah. Namun pada dekade 2000-an, pendukung restorasi khilafah berkembang pesat. Wacana restorasi khilafah telah menyebar ke berbagai segmen masyarakat dan tokoh. Meskipun tidak mengandalkan cara berlomba-lomba mengumpulkan massa, namun gerakan pendukung restorasi khilafah di Indonesia memperlihatkan kemampuannya memobilisasi dukungan masyarakat. Pada tahun 2007, 2013, dan 2015, dapat dilihat ratusan ribu massa berkumpul di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta untuk menyuarakan restorasi khilafah. Mobilisasi ini juga terjadi setiap tahunnya di berbagai daerah dan kota di Indonesia, dengan suara yang sama, yaitu restorasi khilafah. Artinya, kesadaran akan penting dan wajibnya khilafah semakin bertumbuh di masyarakat Indonesia.  

Khilafah Utopis ?

Pada awalnya, gerakan restorasi khilafah dipandang utopis dan dianggap sebagai mimpi yang tidak mungkin terjadi. Namun semakin besarnya dukungan terhadap restorasi khilafah telah membuat khawatir sebagian pihak. Kekhawatiran tersebut direalisasikan dengan cara mengancam kegiatan yang diselenggarakan gerakan resotrasi khilafah, yang dilanjutkan dengan ancaman membubarkan organisasi pendukung restorasi khilafah.  Jika memang pendirian khilafah dianggap mimpi yang utopis, maka mengapa hingga diancam ? Logikanya, jika impian pendirian khilafah hanya sekedar mimpi, maka gerakan pendukung restorasi khilafah tidak perlu dikhawatirkan, karena gerakan tersebut memang hanya memiliki tujuan yang sebatas mimpi yang tidak mungkin tercapai. Ibaratnya, tidak mungkin seorang yang sedang bermimpi membahayakan orang lain. Tetapi ancaman dan intimidasi terhadap pendukung restorasi khilafah justru membuktikan bahwa pendirian khilafah di masa kontemporer bukan utopis. Hal ini dikarenakan kelompok kontra khilafah sadar akan besarnya dukungan riil dan upaya yang memungkinkan kelompok pro khilafah mewujudkan cita-citanya. Dengan demikian kelompok kontra khilafah melakukan berbagai cara untuk menghentikan realisasi penegakan khilafah.

Kesimpulan

Dari berbagai argumen tersebut di atas, didapati bahwa nation-state bukan “harga mati” dan bukan pula merupakan entitas yang harus “mati-matian” dipertahankan. Hal ini karena nation-state hanya hasil dari rekonstruksi pemikiran politik ala Barat dari zaman abad Pencerahan. Terdapat keniscayaan akan dinamika dan perubahan dalam peradaban manusia. Karena itu, nation-state bukan hal yang abadi dalam peradaban manusia. Ia hanya salah satu fase dalam kehidupan peradaban manusia. Sehingga saja digantikan dengan institusi alternatif lainnya. Komunitas non-Barat mulai menawarkan sistem alternatif pengganti nation-state. Dalam dunia Islam, alternatif ini berupa khilafah. Fakta menunjukkan bahwa wacana, dukungan, dan gerakan restorasi khilafah berkembang secara pesat. Khilafah bukanlah sesuatu yang utopis. [VM]

(*) Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jawa Timur. Pengampu Mata Kuliah Terorisme dan Keamanan Internasional; Studi Kawasan Timur Tengah; Globalisasi. Dapat berkorespondensi di alamat email prihandono_wibowo@yahoo.com 

Posting Komentar untuk "Mempertanyakan Klaim “Harga Mati” bagi Nation-State"

close