Represifitas Penguasa, Berbuah Blunder Berkepanjangan
Geliat perlawanan terhadap ketidak adilan semakin menunjukkan kecenderungan meninggi. Perbedaan perlakuan Polri terhadap aksi Ahok dengan aksi Mahasiswa nampak terang benderang. Melingkupi suasana penggerebekan kasus gay dari fenomena LGBT yang sudah dalam kategori sebagai ancaman sangat berbahaya. Melengkapi hasil investigasi BNN sebagaimana disampaikan oleh ketuanya Budi Waseso tentang dugaan mengalirnya dana narkoba ke Pemprov DKI. Di sisi lain Ahok menyatakan mencabut banding kasasinya ke MA. Yang dinilai oleh Amin Rais sebagai langkah pencitraan. Sebagian lain menilai sebagai langkah tertentu untuk membebaskannya. Peristiwa ini terjadi saat Marwan Batubara melaunching buku Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok.
Di sisi lain KPK sedang mengusut dugaan keterlibatan Sandiaga Uno pada kasus Wisma Atlet. Di tengah penegasan Luhut Binsar Pandjaitan di Rapimnas Golkar bahwa para kader tidak usah ikut membahas mengenai kasus dugaan korupsi E KTP yang mencatut nama Setnov karena sudah ada yang mengurusi. KPK dan Kejaksaan. Dan menegaskan Golkar sebagaimana disampaikan oleh Abu Rizal Bakri untuk mengusung Jokowi dengan pasangannya ke depan dalam Pilpres 2019.
Dinamika politik nasional tersebut terjadi selang tidak lama kedatangan Donalp Trumpt di Saudi Arabia yang disambut sangat hangat oleh Raja Salman dan berhasil mengantongi sejumlah besar hasil dari penjualan persenjataan ke Saudi Arabia sebagai mitra karibnya. Sebuah kunjungan KTT 50 yang membahas di antaranya persoalan terorisme. Belakangan santer terdengar kabar Jokowi dikukuhkan sebagai pemimpin muslim termasyhur ke 13. Mahmud Abas yang mewakili Palestina praktis tidak mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan persoalan kaum muslimin Palestine. Dalam berbagai kesempatan di forum-forum internasional tidak ditemukan pembahasan secara jujur nasib kaum muslimin di berbagai negara yang sedang terlibat konflik. Kaum muslimin selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dan bahkan semena-mena. Di tengah bangunan pemahaman yang dicekokkan ke dalam internal kaum muslimin. Bahwa semua ini akibat dari kesalahannya sendiri. Yang sangat lemah dan mudah dilemahkan. Hingga kemudian muncul tudingan menyalahkan di antara kaum muslimin dengan menunjuk gambaran fakta konflik di berbagai negeri muslim. Dengan menutup mata dari kenyataan bahwa hal itu hanyalah akibat dari permainan berbisa dari negara-negara adi daya yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi sangat besar.
Sementara itu rencana pembubaran HTI dan penangkapan Habib Rizieq Syihab nampaknya masih berproses. Meski belakangan disikapi dengan sangat hati-hati berkaitan dengan kalkulasi politik menuju Pilpres 2019. Jangan sampai langkah ini justru mengulang kesalahan kegagalan Ahok yang sudah dipersiapkan secara all out. Tingkat sensitifitas agama kuat yang dimanifestasikan dalam rentetan aksi bela islam hingga belakangan ini masih menjadi kekuatan ibarat api dalam sekam. Tidak bisa diremehkan begitu saja. Apalagi diperkuat juga oleh kalangan nasionalis yang menghendaki kembali pada UUD 1945 yang asli.
Melihat konstelasi dan eskalasi seperti itu maka relevan menimbang apa yang diapresiasi oleh Donald Trumpt tentang kesuksesan RI menanggulangi terorisme dengan cara pengarustamaan islam moderat. Artinya meredam yang diklaim radikalisme sebagai sumber terorisme sebagaimana didiktekan oleh Amerika dengan cara represif justru akan menciptakan tingkat resistensi dan sensitifitas umat islam yang tinggi. Dalam konteks pilpres 2019 treatment represif bubarkan HTI dan tangkap Habib Rizieq hanya akan mengulang kekalahan politik pilkada DKI oleh Ahok. Semoga rezim cerdas menimbang berbagai dinamika politik kekinian agar tidak semakin berada dalam pusaran blunder berkepanjangan. [VM]
Penulis : Abu Fikri (Analis Pusat Kajian Data dan Analisis)
Posting Komentar untuk "Represifitas Penguasa, Berbuah Blunder Berkepanjangan"