Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Soal-Jawab Syeikh Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah: Seputar Pandangan Manusia Terhadap Gharizah an-Nau’


بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fikriyun”
Jawaban Pertanyaan: Seputar Pandangan Manusia terhadap Gharizah an-Nau’
Kepada Faisal Kazmi

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Di kitab Nizhâm al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm halaman 16 cetakan 1424 H – 2004 M dinyatakan sebagai berikut:
(Dan tujuan dari eksistensinya tidak lain adalah keturunan untuk kelangsungan jenis. Karena itu, pandangan manusia terhadap gharizah ini harus dijadikan terfokus pada tujuan yang menjadi alasan keberadaannya di dalam diri manusia, yaitu kelangsungan jenis; tidak ada perbedaan dalam yang demikian itu antara laki-laki dan perempuan).
Dan di halaman 148 dinyatakan:
(dan ‘azl adalah boleh secara mutlak, apapun maksud dari ‘azl itu. Baik darinya dimaksudkan mengontrol keturunan, atau mempersedikit anak, atau dimaksudkan sebagai rasa kasihan terhadap istri karena kelemahannya untuk kehamilan dan persalinan, atau dimaksudkan agar tetap awet muda yang dia bisa merasakan kenikmatan dengannya, atau dimaksudkan untuk tujuan lainnya, maka suami berhak melakukan ‘azl apapun maksudnya. … Dan tidak dikatakan bahwa mengurangi keturunan itu menyalahi anjuran untuk memperbanyak keturunan, sebagaimana sabda Nabi saw:
«تَنَاكَحُوْا تَنَاسَلُوْا تَكَثَّرُوْا»
“Menikahlah kalian, berketurunanlah kalian, perbanyaklah jumlah kalian”.
Tidak dikatakan demikian, sebab kebolehan ‘azl tidak menyalahi dorongan memperbanyak keturunan. Yang itu dorongan memperbanyak keturunan dan yang ini kebolehan melakukan ‘azl.)
Pertanyaannya adalah, bahwa kebolehan maksud mendapatkan kenikmatan atau mengontrol keturunan itu bertentangan dengan kelangsungan keturunan padahal itu adalah tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah tersebut. Dan bagaimana mempertemukan diantara ucapan kita: “pandangan manusia terhadap gharizah ini harus dijadikan terfokus pada tujuan yang menjadi alasan keberadaannya di dalam diri manusia, yaitu kelangsungan jenis” dengan “dan ‘azl adalah boleh secara mutlak apapun maksud dari ‘azl itu”? Dengan ungkapan lain, apakah boleh seseorang berpaling dari tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah tersebut, misalnya ia melakukan ‘azl? Balasan Anda ada di tangan Allah SWT.
Penanya: Muhibbu ar-Rasul – Lahore Pakistan

Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Perlu diketahui, apa yang Anda kutip menurut cetakan baru ada di halaman 17 dan halaman 161…
Menjadikan pandangan manusia terhadap gharizah an-nau’ terfokus pada tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah an-nau’ itu dalam diri manusia yaitu keturunan dan kelangsungan jenis manusia, maksudnya adalah membatasi pemenuhan gharizah ini diantara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan suami isteri, atau yang ada dalam makna itu berupa kepemilikan hamba sahaya. Sebab kehidupan suami isteri tidak terjadi kecuali antara laki-laki dan perempuan. Dan kehidupan suami isteri itulah yang membentuk poros yang benar bagi eksistensi keturunan dan anak-anak serta pemeliharaan mereka di bawah belaian ibu bapak mereka untuk menjaga nasab mereka… Berbeda dengan menjadikan pandangan kepada gharizah itu terfokus pada kenikmatan dan kesenangan. Sebab hal itu berarti memutlakkan gharizah, dimana manusia memenuhinya dengan cara apapun. Maka laki-laki memenuhinya dengan laki-laki dan wanita dengan wanita, manusia memenuhinya dengan hewan dan laki-laki memenuhinya dengan wanita di luar kehidupan suami isteri… Hal itu seperti yang terjadi sekarang di negeri Barat, dimana pandangan mereka terfokus pada kenikmatan dan kesenangan sehingga di tengah mereka tersebar berbagai macam penyakit seksual, tukar menukar isteri, perzinaan dan prostitusi, hubungan seksual dengan hewan …
Semua ini tidak memperhatikan tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah an-nau’ yaitu kelangsungan jenis, dalam kerangka yang benar. Ini adalah makna tidak difokuskannya pandangan terhadap gharizah an-nau’ itu pada kenikmatan dan kesenangan, dan keharusan menjadikan pandangan itu terfokus pada tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah tersebut yatu keturunan dan kelangsungan jenis manusia.
Adapun ‘azl maka itu adalah masalah lain. ‘Azl secara syar’iy adalah masih dalam cakupan pandangan yang benar ini, sebab hal itu berada dalam kerangka kehidupan suami istri atau dengan hamba sahaya. ‘Azl itu berkaitan dengan hubungan seksual laki-laki dengan istri, bukan berkaitan dengan tujuan dari eksisteni gharizah. Tujuan dari laki-laki mendatangi istri tidak harus keturunan. Laki-laki mendatangi istri pada masa kehamilan tidak dimaksudkan mendapat keturunan. Seorang istri ketika sudah terputus haidhnya (sudah menopause) mendatanginya tidak dengan maksud keturunan. Dan semisalnya, seperti mendatangi istri yang mandul yang tidak bisa melahirkan, dll…
Semua itu realitanya serupa dengan ‘azl dari sisi tidak adanya keturunan. Karena itu, tidak ada kontradiksi antara ucapan bolehnya ‘azl dan ucapan bahwa pandangan terhadap gharizah an-nau’ wajib terfokus pada tujuan yang menjadi sebab keberadaan gharizah itu, yaitu keturunan dan kelangsungan jenis sebab hal itu terealisasi dengan istri meski di dalamnya ada ‘azl.
Ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, telah dinyatakan hadits-hadits tentang kebolehan ‘azl. Diantaranya:
Ibn Hibban telah mengeluarkan di dalam Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah bahwa seorang laki-laki dari Anshar datang kepada Rasulullah saw, lalu ia berkata: “saya punya seorang hamba sahaya perempuan dan saya melakukan ‘azl darinya. Maka Beliau saw bersabda:
«إِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا»
“Sungguh apa yang telah ditetapkan untuknya akan mendatanginya.”
Kemudian ia datang lagi setelah itu, lalu ia berkata: “sungguh dia telah hamil”. Maka Rasulullah saw bersabda:
«مَا قَدَّرَ اللَّهُ نَسَمَةً تَخْرُجُ إِلَّا هِيَ كَائِنَةٌ»
“Tidaklah Allah telah menetapkan manusia keluar kecuali pasti dia jadi.”

Ringkasnya, tidak ada kontradiksi antara apa yang ada di halaman 17 dan yang ada di halaman 161.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

22 Rabiuts Tsani 1436 H
11 Februari 2015 M

Posting Komentar untuk "Soal-Jawab Syeikh Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah: Seputar Pandangan Manusia Terhadap Gharizah an-Nau’"

close